Kamis, 27 Oktober 2016

UMANG

UMANG

oleh : Maudy Pratiwi Arfi (22)
                                                                                                    
Kulangkahkan kakiku  buru-buru di lorong suatu gedung yang merupakan bagian dari universitas tempat kuliahku. Jam menunjukkan pukul 12.00. “ Wah benar-benar harus bergegas nih aku”, kataku dalam hati. Bagaimana aku tidak harus bergegas? Adikku yang baru masuk sekolah dasar sedang menungguku untuk dijemput. Segera aku menuju stasiun terdekat dari fakultas tempatku kuliah dan memesan tiket kereta menuju stasiun kereta yang dekat dengan sekolah adikku sekaligus tempat tinggalku. Sengaja aku memasukkan adikku ke sekolah dasar dekat rumah karena memang dia masih sd dan aku juga ingin kedepannya dia bisa ke sekolah sendiri tanpa harus aku antar jemput. Berhubung ini hari pertamanya sekolah, aku harus mengantar dan menjemputnya.

IMPIAN SEBUTIR KACANG




"IMPIAN SEBUTIR KACANG"

            Arazi adalah seorang anak yang dikatakan kurang berhasil dalam pelajaran, bahkan guru sering menjuluki dia sebagai aktivis remedial yang setiap kali ujian pasti mendapat nilai jauh dari angka aman. Namun dibalik nilainya yang sangat sederhana, dia anak yang  jujur dan santun serta berani mengungkapkan pendapatnya.  Nilai yang ia dapat adalah hasil usahanya sendiri secara jujur.
            Terkadang ia sedih dengan realita keadaan sekolah yang ada di Indonesia. Dengan inilah, ia bertekad agar kelak dapat memajukan sistem pendidikan yang ada di Indonesia, terutama untuk anak-anak jalanan. Terkadang Arazi dipandang sebelah mata oleh gurunya, salah satunya ialah bapak Marpuang. Arazi sering kali diremehkan olehnya karena nilai ulangan yang jauh dibawah angka aman. Namun kesedihannya tidak menggoyahkan tekadnya.
Pak Marpuang selalu menegur Arazi, tetapi itu tidak lantas membuat Arazi gentar, ia tetap pada pendiriannya untuk terus berlaku jujur dan berbuat sesuatu yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
Tetapi tidak semua guru yang memandang Arazi dengan sebelah mata, ibu Karsih adalah salah satu guru di sekolahnya yang mengetahui siapa itu Arazi, hanya dia yang mengetahui kepribadiannya. Seringkali Arazi hampir tergoda dengan tawaran Ale. Ale seringkali menawari Arazi contekan. Karena hal itu, Arazi pun bertanya kepada Pras dan Gilang. Mereka adalah pembimbing rohis di sekolahnya.
            Singkat cerita, ketika kenaikan kelas Arazi dipanggil oleh pak Marpuang saat rapat pleno karena nilainya yang dibawah standar dan terancam akan tinggal kelas. Tak lantas bu Karsih pun membela Arazi. Tetapi pak Marpuang tidak tinggal diam, ia membantah perkataan dari bu Karsih. Kemudian bu Karsih menantang pak Marpuang jika ia bisa memotivasi Arazi dan Arazi mendapat nilai diatas standar saat ujian penentuan, Arazi pantas naik kelas. Lalu pak Marpuang menyetujuinya.
            Setelah bel pulang sekolah bu Karsih menemui Syifa. Syifa adalah salah satu murid yang pandai dan rendah hati. Bu Karsih memintanya membantu Arazi untuk belajar tambahan. Syifa pun menyanggupinya
Setiap pulang sekolah Syifa selalu membimbing Arazi untuk belajar. Tetapi tak khayal terkadang Arazi seringkali menghindar dari Syifa. Syifa pun merasa bingung dengan sikap Arazi.
            Suatu saat ketika sepulang sekolah pak Marpuang melihat Arazi di pinggir jalan. Keesokan harinya ia langsung menegur Arazi. Arazi hanya bisa diam, Syifa yang menyaksikan itu hanya dapat berfikir apa yang dilakukan Arazi di pinggir jalan. Ketika di jalan, karena penasaran, Syifa  mengambil keputusan untuk mengikuti arazi, hingga ia akhirnya sampai pada sebuah gedung bekas yang kumuh. Seketika hati syifa tersentuh melihat Arazi yang sedang mengajari anak-anak jalanan.
            Keesokan harinya ketika bel pulang sekolah Syifa langsung pergi ke tempat Arazi membantunya mengajar anak-anak jalanan itu. Tak banyak hal Syifa menanyakan kepada anak-anak tersebut tentang Arazi, tersentuhlah hati Syifa mendengar jawaban dari anak – anak  itu. Keesokan harinya setelah pulang sekolah Syifa ingin membantu Arazi, tak khayal Arazi pun selalu menghindar dan Syifa langsung mengikutinya. Seketika Arazi pun kaget ketika tahu syifa mengikutinya.
            Ternyata Syifa telah diberitahu oleh bu Karsih latar belakang Arazi, bahwasannya Arazi adalah seorang anak dari keluarga yang sangat minim. Seno teman sekelas Syifa tidak senang dengan kedekatan mereka berdua. Seno dekat sekali dengan guru terutama dengan pak Marpuang dikarenakan nilainya yang selalu diatas standar. Seringkali Seno menghasut pak Marpuang mengenai Arazi. Tak khayal pak Marpuang pun terhasut olehnya.
            Arazi hanya menganggap Syifa sebagai teman biasa, berbeda dengan Syifa yang ternyata menyimpan perasaan untuk Arazi. Tetapi karena seringnya Arazi dengan Syifa, Arazi pun sudah melihat kebaikan Syifa yang timbul dengan sendirinya, Arazi  terenyuh dan termotivasi untuk lebih giat belajar agar mendapatkan nilai yang  maksimal di tes kenaikan kelas tambahan. Ia mati - matian belajar sembari mengajari anak jalanan bersama syifa sepulang sekolah.
            Hari demi hari telah berlalu, waktu yang mendebarkan pun tiba, yakni tes kenaikan kelas. Arazi yang telah mempersiapkan kehadiran tes ini menanggapinya dengan santai, karena ia sudah sering mendalami materi - materi yang diujikan bersama Syifa, sebaliknya Seno yang diandalkan oleh pak Marpuang juga terlihat santai menanggapi ujian ini. Ujian pun dimulai, Arazi yang tidak terlihat kesulitan dengan ujian ini, sebaliknya Seno terlihat gelagapan karena waktu yang disediakan belajar ia gunakan untuk bermain dengan temannya yaitu huda. 
            Arazi dah Seno  pun ternyata tidak tahu bahwa mereka diawasi oleh pak Marpuang dan bu Karsih. Seno yang tidak belajar terlihat panik dan seringkali melihat kebawah meja. Karena pak Marpuang curiga dengan Seno, ia pun menghampiri dan tertangkaplah Seno sedang mencari jawaban di smartphone nya. Seno merasa malu dengan tindakannya. Pak Marpuang yang sering mempercayainya sebagai anak pintar di kelas dibuat kecewa olehnya. Lalu 15 menit kemudian bel pun berbunyi yang menandakan waktu mengerjakan soal telah habis.
            Tibalah saatnya pengumuman kenaikan kelas, ternyata ada 1 orang anak yang tinggal kelas di kelas 10. Ketika seluruh murid melihat pengumuman itu di mading sekolah ternyata murid tersebut adalah Seno, tak kuasa Seno menahan malu. Ia pun segera pergi kerumah Arazi untuk meminta maaf atas segala perbuatannya.
            Seno pun kecewa karena Arazi tidak ada dirumah, lalu ia pulang melewati jalan raya yang ia sering melihat Arazi berada disana. Ternyata benar Seno  melihat Arazi sedang mengajari anak-anak jalanan, seketika Seno  langsung merasa bersalah. Tak kuasa hati ia pun langsung meminta maaf kepada Arazi, seketika Arazi pun merespon dan memaafkannya.
             Walau Arazi sudah naik kelas, pak Marpuang masih belum sepenuh hati melihat Arazi naik kelas. Ketika ditengah jalan pak Marpuang melihat Arazi sedang mengajar anak - anak jalanan. Ia pun teringat seluruh perkataan Seno tentang keburukan Arazi. Tak lama kemudian, Seno segera menjelaskan semuanya kepada pak Marpuang dan mereka meminta maaf atas segala kesalahannya. Pak marpuang pun menghela nafas dan memaafkan segala kesalahan yang dilakukan oleh Seno. Arazi menghampiri pak Marpuang dan Seno, pak Marpuang pun meminta maaf  kepada Arazi karena ia telah berprasangka buruk kepadanya. 

 ...T A M A T...

Note : Manisnya keberhasilan ditentukan dari usaha yang dikerjakan. tetaplah berusaha semaksimal mungkin walaupun berat dan melelahkan, karena sesungguhnya bukanlah hasil yang dilihat melainkan proses yang dijalankan. keep istiqamah fisabilillah...

(FIKRI HAIKAL, 28-10-2016)

Menunggu

Menunggu

               Seharusnya aku jalani hari-hariku dengan lebih bahagia. Tapi aku hanyalah remaja seperti yang lain, ingin semua hal berjalan dengan baik. Teman-teman ku mengatakan kalau aku orang nya egois, aku tak perduli omongan mereka. Setiap ada orang yang menurutku menggangu, maka akan ku lawan. Aku tak perduli perasaan orang lain, sering kali beberapa orang yang aku kenal menitikan air mata akibat ulah ku. Aku tak bisa berbuat banyak, aku sangat muda dan sangat bodoh.

               Aku masih 16 tahun saat pertama kali memasuki SMAN 1 Redwood Hills, sekolah satu-satunya di kota yang ku tinggali. Oh iya, aku belum mengenalkan diriku. Nama ku Finn Nandana, aku tinggal bersama ibuku dikota Redwood Hills. Aku adalah anak tunggal, aku sayang orang tuaku. Ketika aku masih berumur 8 tahun, aku adalah anak yang bahagia, ceria, dan sangat ramah.
Saat itu lah aku percaya jika cinta itu adalah hal yang nyata dan amat membuat bahagia, tetapi tidak saat umur ku 13 tahun. Ketika aku lihat dengan mata kepala ku sendiri bagaimana ayah menyiksa ibu, bagaimana caranya memukul ibu ku. Ayah ku selalu mengatakan padaku bahwa ia sangat mencintai ibuku, tetapi kini ia seperti hewan buas, dan ibu ku adalah mangsanya.
Ayahku adalah seorang pemabuk, saat menikahi ibuku ia mengatakan akan menghentikan kebiasaannya meminum minuman keras. Tetapi ternyata ia berbohong, kasihan ibuku. Satu setengah tahun kemudian ibu ku menceraikan ayahku, dan aku memilih ikut ibuku hingga saat ini. aku sayang sekali ibuku, kehidupan kami semakin membaik. Tetapi aku masih melihat ada luka besar membekas di dada ibuku, semenjak bercerai sikap ibu ku berubah. Ia tidak seceria dulu, tidak sehangat dulu. Aku dapat memakluminya, aku tau bagaimana pedihnya perceraian itu untuknya. Begitupun untuk diriku.

               Perlahan-lahan aku menjadi pendiam, aku tak percaya siapapun atau apapun. Aku tak percaya lagi akan hal bernama cinta, bagiku cinta hanyalah kata tak berarti yang dikarang orang asing.
Siapa perduli. Bagiku tak ada yang nyata, semua hanya hal semu yang dibuat-buat orang untuk membohongi dirinya sendiri. Aku tak perduli dengan perasaan orang lain, bahkan setelah membuat seseorang menjauh karena kata-kata ku, aku pun tak merasakan apa-apa. Aku tak punya teman disekolah, tetapi jika menurut kalian teman adalah orang yang kau temui dikelas dan sekolah maka aku punya banyak.
Tetapi tak semua mau menerimaku, hanya Reza dan Bobka lah yang bisa menerimaku. Aku pun tak mengerti kenapa mereka bisa menerimaku, aku hanya berpikir mereka sudah kebal dengan bisa dimulutku. Aku dingin dan tak punya perasaan, jarang ada yang mau bermain denganku. Jadi ku lewati saja hari-hari dengan tanpa perasaan, hari datang dan pergi. Tak ada bedanya.

               Aku sama sekali tak pernah menyangka kalau semua akan berakhir, entahlah harus ku sebut apa dia. putri salju kah, atau Malaikat yang turun dari pesawat sukhoi, entahlah. Tetapi kenyataannya dia memang manis, pasti otakku sudah hancur tertabrak truk saat itu…
Namanya Emilia Bell, ia adalah wanita bermata coklat. Dengan rambut hitam panjang sepinggang. Well, aku tak bisa banyak mendeskripsikannya. Ketika aku melihat rambut hitamnya yang panjang itu aku hanya teringat Dian Sastro. Hari itu aku sedang di cafetaria, memakan makan siangku.
Aku sangat damai saat itu, sama sekali tak ada yang berani mengganguku. Hingga saat sebuah gelas berisi susu jatuh tepat dipangkuanku, aku sangat marah saat itu. Aku reflek berbicara kata-kata kotor dan hal jahat. “maafkan aku, aku benar-benar tak sengaja. Aku akan membantumu membersihkannya jika kau mau.” Sosok perempuan berlutut dan mencoba membersihkan baju ku, seketika seluruh cafetaria melihat ke arahku. Aku sangat kesal, aku lelah memarahi nya hingga akhirnya aku hanya menggeram. Mataku melotot ke arah perempuan itu, seperti ingin keluar dari kelopaknya.

               Aku beranjak dari tempat duduk ku, dan langsung menuju toilet untuk membasuh pakaianku. Kutinggalkan perempuan itu, aku tak perduli dengannya. Aku berharap dia ditabrak bus saja sepulang sekolah nanti. Dengan susah payah ku bersihkan noda susu dipakaian ku, tetapi ternyata air dari wastafel tak dapat membersihkannya. Tumpahan nya terlalu pekat, aku hanya menahan marah hingga nafasku berat“. "Aku dapat membantumu membersihkannya jika kau mau”. Aku menoleh, ternyata perempuan itu sudah berdiri di pintu toilet. “yeah, kau dapat membantuku dengan tidak menumpahkan susumu ke pakaianku”. Balasku dengan kesal. “Aku sudah minta maaf”. “maaf tak akan membersihkan pakaianku”. “sini ku bantu bersihkan”. Perempuan itu berdiri disebelahku, ia menunduk dan, memegang pakaianku lalu menggosok-gosok di pancuran air. Aku sedikit canggung, tak ada perempuan yang berani sedekat ini denganku sebelumnya. Begitu dekat hingga aku dapat melihat matanya yang coklat, mata yang indah. “sudah, aku dapat membersihkan sendiri pakaianku”. Ku tarik pakaian ku dari tangannya, ia mengangkat tubuhnya.

               Aku lalu meneruskan membersihkannya, tetapi sia-sia nodanya terlalu pekat. “kau tahu, sepertinya kau bisa menggunakan ini”. mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang tenyata sebuah pakaian. ”abang ku meninggalkan pakaiannya di tas ku, ku pikir ukuranmu tak beda jauh dengannya. Pakailah”. Ia menyodorkan pakaian itu. “tidak terima kasih”. Ku tolak dengan kasar. “ayolah, anggap saja ini permintaan maaf. Tadi kau bilang maaf tak bisa membersihkan pakaianmu, tetapi setidaknya pakaian ini bisa mengganti pakaianmu yang kotor”.
Aku memandangnya, aku tak menyangka senyumnya sangat manis. Namun aku tetap menjaga raut wajahku, aku tak mau ia menyadari kekaguman ku. “baiklah, tapi ingat kalau saja aku tak harus masuk ke kelas biologi sehabis ini aku tak akan menerima pakaian ini”. Aku melangkah menuju salah satu toilet untuk mengganti baju. “baiklah, aku terima itu. Ngomong-ngomong namaku Emilia Bell”. Aku tak menjawabnya. Aku hanya keluar dari toilet dan meninggalkannya. Aku bahkan tak melihat nya lagi ketika pergi.

               Saat itu lah pertemuan ku yang pertama kalinya. Saat itu aku tak lagi berharap atau mau bertemu dengan nya lagi. Dan memang benar, aku tak bertemu lagi dengannya. Tetapi 2 minggu kemudian saat aku sedang dikelas biologi, aku merasa ada seseorang duduk didekatku. Ketika ku lihat, ternyata dia lagi. Aku sangat kesal melihatnya. “masih kurang kau menumpahkan susu ke pakaianku, sekarang mau apa? Melemparku dari jendela?” “hey, tenang. Aku tidak sesadis itu, walaupun kau adalah orang yang paling menyebalkan disekolah ini.” “lalu kau mau apa?” ku lirik matanya dengan tajam, tetapi sekali lagi mata coklatnya membuat pandanganku buyar. “Aku hanya ingin mengembalikan ini”. Ia memberikan pakaian ku yang sudah bersih. “kau meninggalkannya di toilet waktu itu, dan sudah ku cuci bersih. Aku pikir sudah cukup permintaan maafku”. Perasaan marahku semakin hilang, sebaliknya aku menjadi senang. “baiklah, ku terima permintaan maaf mu”. “ngomong-ngomong kau belum memberitahu namamu”. “nama ku Finn Nandana”. “nama yang bagus, aku Emilia.” “aku sudah tau itu, kau sudah menyebutkannya”. “oh, baiklah.” “kau tau Finn, bagaimana jika ku traktir kau nonton. Saat ini dikota sedang ada film yang bagus”, “tidak” Ku jawab dengan singkat. “Untuk kali ini saja, anggap ini permintaan maafku yang terakhir.” senyum menggembang di bibirnya. “baiklah. Sekarang bisakah kau pergi dari sini?” “okay, ku tunggu kau di depan sekolah besok sore.” Ia pergi seketika.

               Keesokan sorenya kami pergi ke bioskop, aku tak manyangka ternyata Emilia adalah perempuan yang ceria. Ia selalu membuatku tertawa dan tersenyum dengan omongan yang tak habis-habis, bertahun-tahun aku jarang sekali tertawa. Bahkan aku lupa bagaimana rasanya tertawa, aku berterima kasih kepadanya karena membuatku kembali tertawa.
Mudah-mudahan ia mendengarnya. Hubungan kami semakin lama semakin dekat, Emilia selalu menemuiku dan pulang bersama setelah sekolah. Aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatnya nyaman terhadap pria sepertiku, aku dingin dan bukanlah teman yang baik. Aku bahkan sering menyakiti orang lain, tetapi sepertinya ia tak perduli. Aku pun nyaman terhadapnya, ingin sekali aku percaya sepenuhnya terhadapnya. Tetapi sebagian diriku mengatakan jangan percaya dengannya, ingat bagaimana ayahmu menyakiti ibumu. Tak ada yang sungguh-sungguh di dunia ini, semua hanya pembohong. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melawan pikiran itu, senyum hangat dan mata coklat Emilia membuatku semakin lama semakin percaya. Aku tak bisa menahan yang sekarang aku rasakan, bahwa aku menyanyanginya.

               Suatu malam ketika kami sedang berada ditaman, aku pernah menanyakan kepadanya mengapa ia mau menghabiskan waktu bersamaku. Ia hanya menjawab “kau mempunyai senyum yang indah, tapi sayang kau jarang tersenyum. Awalnya aku pun membencimu, bagaimana kau menyakiti orang lain atau bagaimana dinginnya kau dengan dunia. Tetapi kemudian saat aku mendengar apa yang kau alami, aku hanya berpikir mungkin kau pria yang baik. Semua orang tak akan mampu menghadapi apa yang kau alami, dan aku dapat mengerti apa yang kau rasakan.” Ia mengatakannya dengan nada yang lembut dan indah, bahkan ia tak melihatku saat berbicara. Ia hanya melihat ke langit malam, padahal kami berbaring berdekatan, berbaring di rumput yang sama. Kemudian ia memandang wajahku, sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Seketika itu kepercayaanku kembali lagi, aku percaya bahwa diantara omong kosong yang sering kita dengar pasti ada satu kebenaran yang bisa kita percaya.

               Aku seperti hidup kembali, dan bisa bernafas lega. Kini aku punya tujuan, aku tau itu. Aku merasa dapat berlari sekencang-kencangnya untuk itu, mata coklat dan senyuman itu. Hari-hariku semakin baik, hampir setiap hari aku habiskan untuk menghibur ibuku dirumah. Aku tak akan selamat sendiri, aku harus menyelamatkan ibuku sama seperti Emilia menyelamatkan ku. Tetapi sayang aku tak dapat menyelesaikannya, aku tak pernah menyangka aku akan seperti ini.

               Malam itu aku berjalan pulang bersama Emilia, setelah seharian penuh menghabiskan waktu di kota. Karena rumah Emilia tak jauh dari rumahku maka dia mengantarku sampai depan rumah. Seperti biasanya, dia tak ingin ku antar karena alasan tertentu. Saat sudah di depan rumahku, ku peluk dirinya dan ku kecup keningnya dan tak lupa ku katakan untuk berhati hati. Ku lihat wajahnya yang terbias oleh cahaya lampu jalan sebelum ku tutup pintu, aku berjalan dengan senyum yang menggembang. Koridor rumahku sangat gelap waktu itu, pasti ibu ku sudah tidur, ku pikir begitu. Aku melangkah ke kamarnya untuk mengecup dahinya dan mengucapkan selamat tidur. Tetapi saat ku buka kamar ibu ku, aku melihat ayahku tengah menyayat leher ibuku dengan pisau. Ibu ku sudah tergeletak berdarah di tangan ayahku, wajah ayahku sangat menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari yang pernah ku lihat. Air mataku menetes saat melihat tubuh ibu ku yang sudah tak bergerak, ayahku menyeringai dan bangkit untuk mengejarku. ia mengatakan “kalian harus mati, tak ada yang boleh meninggalkanku.”

               Aku berlari melewati koridor yang gelap, aku berlari sekencang-kencangnya. Ku dobrak pintu utama, aku berhamburan keluar. Aku dapat melihat ayahku mengejar ku dengan pisau dapur di tangannya. Aku akan mati ditangan ayahku sendiri. Tetapi aku tak mau menyerah, aku tetap berlari sekuat tenaga dijalan yang sepi. Dari jauh aku melihat seorang berjalan sendiri didepanku, ternyata dia adalah Emilia. Seketika aku berteriak padanya agar ia lari, ia melihat aku berlari diikuti ayahku. Akupun mengulurkan tangan dan menarik dirinya agar berlari lebih kencang. Ia tetap memegang tanganku, kami berlari sekuat tenaga. Aku memberikannya semangat agar dia berlari lebih kencang, langkah kaki nya semakin melambat. “lari Emilia, jangan melihat kebelakang.” Aku berteriak kearahnya. Aku tau aku tak boleh menyerah. Tetapi jantungku sudah seperti ditusuk-tusuk.
              
               Hingga akhirnya kami sampai di jembatan pembatas kota, Emilia sudah tak kuat lagi berlari. Aku dan Emilia terhenti ditengah jembatan, “tetaplah berlari Emilia, mungkin dia masih dibelakang.” “tapi aku sudah tidak kuat lagi.” “ ayolah Emilia, ku mohon.” “baiklah.” Ia angkat tubuhnya, dan bersiap berlari. Tetapi sayang pisau ayahku sudah terlebih dahulu menancap dipunggungku, dapat kurasakan nyeri di punggungku. Setiap kali ayahku mencabut dan menancapkan pisaunya di punggungku rasa sakit itu seperti meremukan tubuhku Tetapi yang paling menyakitkan adalah saat melihat air mata jatuh dari mata Emilia, mata yang selama ini menghangatkan ku. Hal terakhir yang ku dengar adalah teriakan Emilia yang memanggil namaku, pandanganku semakin memudar. Hingga akhirnya ayahku melemparkan tubuhku ke sungai, tubuhku melayang diudara hingga akhirnya mengahantam air sungai yang dingin. Saat itu lah terakhir kalinya aku melihat Emilia, aku tak tahu apa yang ayahku lakukan terhadapnya. Aku rindu sekali dengannya, aku rindu mata coklatnya, rambut hitam panjangnya. Hingga saat ini aku masih menunggu di jembatan ini, hatiku hancur. Aku harus kehilangan orang yang baru saja menyelamatkanku, orang yang aku sayangi. Tetapi aku akan tetap menanti di jembatan ini, aku yakin dia akan datang kembali ke sini. Tiap malam aku memanggil-manggil namanya dari balik gelapnya malam, dan setiap malam selalu ku tanyakan keberadaan Emilia pada setiap yang lewat. Tetapi sepertinya mereka tak mengerti, aku tak bermaksud menakuti mereka. Semakin lama semakin sedikit yang melewati jembatan ini saat malam, hatiku memang hancur tapi aku tak berniat jahat. Aku pun tak menyalahkan mereka, mungkin rupa ku yang tak bisa mereka terima.
Ayahku meninggalkan luka tusukan pisaunya yang menganga lebar dipunggungku, bajuku pun di penuhi darah. Hal yang paling mereka takuti adalah wajahku, aku masih ingat bagaimana kerasnya aku menghantam air. Bagaimana perihnya mataku saat menghantam air. Diantara dingin air sungai itu aku masih merasakan nyeri diwajahku akibat menghantam batu didasar sungai. Aku pikir wajahku hancur, hingga mereka tak lagi senang melihat ku.

                Mereka menamai jembatan ini dengan namaku, mungkin karena setiap malam aku selalu terlihat dijembatan ini. aku yakin Emilia ada disuatu tempat, dan suatu hari ia pasti menemukan jalan untuk kembali ke jembatan ini. dia pasti tau jika aku selalu menunggunya disini, hingga kapan pun. Entah harus berapa tahun atau abad aku harus menunggu, aku tak keberatan. Aku yakin ditempatnya sekarang Emilia dapat mendengarku, seperti aku dapat mendengar desah nafasnya.
Emilia, dimana pun kau berada saat ini. aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. Aku yakin kau tahu itu. Jika kau mendengarku, maka datanglah kepadaku. Jika kau tersesat ikuti suaraku, aku yakin kau dapat menemukanku. Aku tahu itu.


(Muhamad Alfath Ramadhan, 26 Oktober 2016)

Topeng yang Rapuh



Topeng yang Rapuh 

Intan adalah salah satu murid baru yang baru sebelum di SMA Pelita Harapan Bandung
semester 2, ia anak murid pindahan yang berasal dari Jakarta. Intan beserta ayahnya yang 
seorang prajurit TNI AD pindah dari jakarta ke bandung karena ayah intan berpindah tugas
di daerah buah batu dibandung. Sedangkan ibunda intan adalah designer di jakarta dan
sudah lama  bercerai dengan ayah intan saat intan berusia 8 tahun. Intan diasuh oleh
ayahnya, karna kesibukan ibundanya yang padat. Intan adalah anak yang selalu ceria
didepan semua orang, tegas dengan keadaan apapun dan sangat friendly namun hanya
topeng belaka.

“yah intan sekolah dulu ya, hati hati dijalan pokoknya pulang gak boleh telat dan  satu lagi
gak boleh capek!” ucap intan manja dan penuh penegasan saat ingin turun dari  mobil ayah
karna sudah didepan halaman sekolah intan.
“siapppp nyonya besar, laksanakan!” ucap ayah intan, Bramantio dengan memberi hormat
kepada anaknya tersebut.
“ siap pak presidennn, intan sekolah dulu. Assalamualikum” ucap intan sambil menyalami
tangan Bramtio
“disekolah yang bener, jangan petakilan. Ayah kerja dulu ya. Walaikumsalam” sambil
mengelus kepala sang anak.
Saat intan menuju kelasnya, ia bertemu dengan teman sebangkunya, Rika. 
“tumben cepet datengnya ka, kangen sekolah lu?” tertawa karna mengejek rika
Sambil mengendus rikapun menjawab “heleh, gua mau piket tau. Diomelin gua sama itu tuh
emak dari sekolah ini. Berisik banget dari kemaren gua diomelin mulu sama dia gara – gara
gak piket mulu” 
Intan tertawa terbahak, ia paham siapa yang mengomeli rika karna tidak piket itu, tidak lain
adalah bu Amalia. “laelah masa takut, percuma silat lu dari sd kalo takut sama doi mah” 
“cooooooottt!!!!!!! Bodo gua mau kekelas” sambil berjalan memlalui intan
Sambil terkikik intanpun mengikuti rika sambil terburu – buru “najongggg baperrr!!”
Walaupun mereka baru berteman selama sebulan, tapi mereka amatlah dekat.
Mereka memiliki banyak kesamaan, pertama mereka sama sama saling menggeluti hobi yang
sama yaitu ilmu bela diri. Intan adalah karate sedangkan rika adalah silat. Mereka sama sama
berasal dari daerah sumatra barat, sama sama penyanyang kucing dan banyak hal.
Yang membedakannya adalah kelurga rika utuh, sedangkan intan sudah pupus. 
“tan, ajarin gua mtk kekk” rengkek Dio pada intan karna merasa jengah karna soal mtk yang
sulit. 
“gua duluann yo, lumah gapernah ngalah sama cewek. Banci lo ah” kata stepani karna merasa
tidak suka kehadiaran dio yang merusak suasana.
Sambil melerai rika sebagai teman sebangku yang baik pun ikut membantu intah “ ah elah
jangan pada nimbrung, atu atu aja kasian sama si intannya, chairmatenya dululah”
Sambil tersenyum intan pun telaten membantu teman temannya agar dapet mengerjakan
tugas mtk.

Setelah melaksanakan aktivitas sekolahnya intan pun pulang bersama dengan rika alisan
menebeng rika sampai rumahnya karna rumah mereka 1 komplek. Diperjalan mereka hanya
tertawa entah apa yang membuat mereka tertawa. Sesampainya dirumah intan hanya bertemu
 bi eem untuk absen karna telah pulang sekolah, langsung intan pun  berbaring dikamar yang
nuasanya blue soft tersebut. Seketika handphonenya berdering.
“Tringg tringgg tringggg..............” bunya suara handphone intan, sesegera mungkun intan
mengambil hp yang berada loker belajarnya.
“kamu lama bangetsih angkat telepon mama? Ayah kamu nyuruh buat kamu ga
ngangkat telepon dari mama tan? Dengan suara rendah karna kesal
Dengan malas karna awal topik ditelepon akhirnya intan membalas singkat telopon dari
mamanya tersebut “ ma apa deh, kenapa selalu kayak gini deh? Aku males tau dengernya,
selalu nyalahin ayah kayak gitu. Mama kenapa nelepon”
“ya mama kangen kamu dong sayang, salah?” dengan suara bersalah
Sambil tersenyum kecut intan menjawab “ iya aku kangen mama juga kok, udah ma itu aja?” 
Suara tegas mama intan pun keluar “ kamu tau mama nelpon kamu itu tujuan utamanya apa,
ayolah ikut mama. Mama pengen kamu jadi model di agency mama, masa anak mama gamau
padahal ibunya bisa bantu kamu jadi terkenal”
“stoop ma, aku gasuka. Hilangin sikap otoriter dan pemaksa mama itu, aku gasuka ya gasuka.
Mama terlalu terhipnotis memajukan agency mama biar temen temen mama pada bangga
sama mama dan malah memcampakan aku sama ayah? Its anough mom, im tired. Enough
please”
“ini semua demi kamu juga intan, kenapa gasekali aja kamu dengerin mama? Ayah kamu itu
jangan kamu ikutin terus,coba sekali kali kamu pahami mama sayang” merasa kesal dengan
jawaban intan
Intan pun menghela nafas “ udah ya ma, aku setuju sama ayah karna aku udah nyaman.
Sehat terus ma, ketemu dijakarta minggu depan. Aku sayang mama.” Sambil mematikan
telepon
Hampir tiga kali sehari mamanya menelpon hanya karna hal tersebut, mendesakya agar mau
dan menjadikannya tameng untuk membanggakannya didepan teman – temannya. 
“ andai mama tau, intan kangen semuanya ma, semuanya yang mama lakuin bareng bareng
kita ber tiga sama papa sebelum mama terobesi dengan agency mama itu” sambil menangis
didalam kamar.

       Sebelum azan maghrib berkumandang ayah intan pulang, intan yang sudah berada diruang tamu
untuk menunggu sang ayah pun terlonjak ketika ayahnya masuk ke dalam rumah.
“ayaahhhh!!!! Ih lama banget, bodo kesel belbi nungguinnya lama”sambil merengek manja kepada
sang ayah.
Sang ayah hanya tersenyum lalu mencium kepala anaknya dengan sayang
“ anak jaman sekarang, ayahnya pulang bukan sediain teh malah ditodong begini ckck,
malah bukannya salim duluuu”
Dengan cengiran khasnya intan langsung salim dan mecium pipi ayah “ maap bos besar, lupa
soalnya udah kesel duluan”
“yaudah ayah bersih bersih sama sholat dulu, kamu sholat juga baru kita makan sama sama ya”
 sambil berjalan kekamarnya
Intan pun berjalan kekamar untuk melaksanakan tugasnya sebagai muslim. Setelah merek
 telah selesai akhirnya mereka makan bersama dimeja makan yang telah disediakan oleh bi
eem. 
“bii eem ku muahmuah, ayuk ikut kita makan yuk” dengan suara intan yang terdengar
dipenjuru rumah
Menggelenglah bi eem “gak aah non, bi eem udah makan. Lagi proses diet” elah bi eem
dengan alasan tersebut
“halah bibi mah suka ngaco” mereka ber3 akhirnya tertawa dan bi eem kembali ke dapur
untuk melaksanakan tugasnya. 
Setelah makan dengan khidmat akhirnya ayah dan anak akhirnya duduk diruang kelurga
seperti biasa mereka lakukan sambil menonton tv.
“ kapan kamu mulai karantina sebelum pertandingan di Thailand sayang” tanya sang ayah
membuka pembicaraan
Intan yang tadinya fokus kepada film kartun yang ia tonton pun akhirnya berubah fokus ke
sang ayah “ mulai lusa aku udah karantina kok, udah minta izin sama sekolah juga. Tinggal
cus aja ke jakarta yah, semua perlengkapan juga udah aku siapin”
Sambil menganguk Bramantio pun menjawab “ ayah anterin kejakarta ya, nanti sama mama
kalo engga sama tante sona aja kalo ada free time”
Sudah mulai jengah denga topik yang berbau sang mama intan pun jawabannya “aku pasti
sama mama kok, tp mending kerumah tente sona. Lebih nyaman aja”
Bramantio yang paham akan sifat anaknya pun memberi nasihat “ ayah tau kamu begitu
karna sifat mama kamu seperti itu, lupakan sikap mamamu. Ayah sudah memaafkannya”
Intan hanya senyum “ iya ayah, aku kekamar dulu ya tugas numpuk sebelum karantina”
“semangat sayang ayah tau kamu bisa ngehandle semua itu” sambil mencium kepala sang
anak

 Pagi harinya intan pun melakukan aktivitasnya seperti biasa yaitu bersekolah diantar oleh
sang ayah. Saat memasuki kelas intan nampak kaget karna teman temannya tak merelakan
intan yang harus pergi ke jakarta besok untuk pertandingan di thailand.
“pokoknya gua mau pergi sama lu seharian, bodoamat lu capek pas dijakarta bukan urusan
gua. Masa twin gua pergi tapi gua baru tau tadi pas liat surat izin lu” merengut si rika karna
sang sahabat atau yang disebut twinnnya tidak memberitahu perihal tersebut. 
Intan pun sangan tercengang karna ruangan kelas yang biasanya seperti kelas biasa diubah
menjadi kelas yang agak unik dengan hiasan seperti acara ulang tahun “ lu pada ngapain dah?
 Gua pergi cuma 3 mingguan bukan setahun atau sebulan caggg”
Stephi pun angkat suara “lah atlit kita harus dibanggainlah, ya kali banggain si dio si ketua
kelas gabecus gitu. Mending kek gini ke lu ada manfaatnya” sambil menyindir dio
Dio pun geram dengan tingkah stephi yang selalu memulai peperangan “ ah elah lu mulai
mulu, berisik ege lu. Mending balik lu”

Akhirnya serempak teman teman sekelas intanpun tertawa karna pertikaian antara dio dan
stpehi. Kelas pun makan ramai karna dari jam pelajaran [ertama hingga ke tiga gurunya
berhalangan masuk. Kelaspun akhirnya riuh karna kesruruan dan kekompokan mereka sekelas. 
    Bel pun berdering menandakan pejaran selesai dan bersiap pulang. Mereka akhirnya memutuskan
untuk pergi ke mall untuk hangout sebelum intan pergi ke jakarta untuk karantina. Dimulai
dari mereka yang terlebih dahulu makan, menonton hinggal timezone untuk menrefreshingkan
 penat akibat keseharian mereka disekolah.
“capek gua udah ah, makan banyak banget kek gapernah makan. Dibioskop malah tepar,
timezone berasa kayak gua olahraga dipelajaran bu imin. Bikin ngos ngosan” celetu rika karna
sudah merasakan kelelahan akibat apa yang meraka lakukan seharian ini.
Sambil menganggung setuju, Adinna bendahara yang selalu anteng dikelas pun ikut pergi
 hangout karna merasa senang dan bangga terhadap intan “lah lu lagian baru ngasih sekarang,
jadi begini nih taunya pas mau pergi doang”
Intan hanya tersenyum menanggapi celotehan mereka semua. Intan hanya gadis yang
memendam segalanya sendiri, tidak suka membeberkan apaun yang ia suka kepada orang lain,
termasuk sahabatnya.  Tidak lama mereka pun pulang kerumah masing masing. 
Keesekokan pagi intan sudah siap pergi ke jakarta, siap mental maupun fisik untuk
pertandingan karatenya tersebut. Intan diantar oleh sang ayah kerumah ke tempat karantina.
Disela sela karantina intan selalu disupport oleh teman temannya melalui skpye sebagai alat
komukasi, terlebih lagi rika yang notabennya teman yang selalu ada untuk intan dalam
keaadan suka maupun duka. Rika pun pergi ke jakarta sebagai tanda sayang rika ke intan. 
Dikamar karantina intan, dengan muka penuh bingung intan menatap sahabatnya yang
tiba tiba datang ke tempat karantinanya “ sumpahhh ganyangka gua lu disiniii, ganyangka.
Modal nekad minta alamat sini sama ayah gua dan akhirnya you in here my twinnn!!!!”
sambil memeluk rika
“kita ada batin, gatenang gua kalo gabener bener face to face” sambil membalas pelukan intan.

Tiba – tiba suasa hening “gua tau semua apa yang lu rasain tan, gausah disembunyiin.
Gausah sok tegar dihapadan gua. Gua tau gua cuma baru sebulan bagi lu, but the fact i so
care about you. You need me and i need you too. Its fine kalo lu masih anggep gua orang
baru, tapi seengganya gausah nutupin itu ke gua tan” sambil menatap mata intan
Intan pun mulai terenyeh “ i so sorry about that ka, lu yang terbaik diantara mereka. Lu
udah gua anggap kakak sendiri, tapi gua takut lu cuma kasian sama gua. Gua yang broken
home yang bisa dianggap gapernah diurusin orang tua, yang kesepian, yang selalu kesepian
dan selalu menutupinya dengan kesibukan karate gua. Gua takut itu, gua takut lu jauhin gua.
Apalagi pas lu tau tentang masa kelam gua” air mata intan pun turun
“Gua tau semuanya kok, gua tau dari ayah lu. Lu harus terbuka sama sesorang walaupun itu
Cuma ke 1 orang doang. Lu butuh buat ngeplong-in semua rasa takut itu. Gua disini buat lu.
Buat lu” dengan mantap rika menjawab perkataan intan sambil memeluk intan.
Mereka pun akhirnya saling mensupport, intan memanglah anak emas bagi negara.
Nama indonesia pernah ia bawa dengan menangnya intan juara 1 karate di ASEAN
mengalahkan negara neraga lain, tapi apa daya intan hanyalah anak dari seorang broken
home yang selalu kesepian walau ayahnya selalu ada didekatnya. Kejadian kelam yang
membuat intan sangat hina karna hampir diperkosa oleh penjahat suruhan musuh
bebuyutan egency mama intan sendiri, karna merasa benci dengan ibunda intan dan
kelurganya.  Sehingga intan pun tidak pernah mau berurusan dengan agency sang mama
karna mamanya yang sudah buta akan agencynya. 

Seminggu setelah kejadian intan yang berangkat dari bandara soekarno hatta diantar oleh
orang tuanya pun mulus mendarat di bandara thailand. Saat di Thailand semua berjalan
lancar, intan dapat mengalahkan semua lawannya dengan cerdik dan lugas. Juara 3 pun
didapatkan intan dikatageri putri 48 kg, tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh intan
sang sahabat yang selalu ada buatnya, yang selalu mensupportnya, yang telah membuatnya
menjadi intan yang dulu. Intan yang periang tanpa ada topeng, yang membuat intan bangkit
dari kepurukannya. Ya, rika meninggal saat hari kepulangan intan ke Indonesia karna tabrakan
 motor yang dikendarai rika diserempet oleh mobil yang ugal-ugalan dan menyebabkan rika
meninggal ditempat.
Dengan kabur dengan hati penuh luka dari bandara intan langsung pergi ke rumah rika, karna
seharusnya intan masih dalam masa karantina. Ia tidak memperdulikannya, karna yang
terpenting saat ini adalah rika sahabat terbaiknya. Setibanya di rumah rika, intan adalah
orang yang ditunggu kehadirannya karna itu pesan terakhir yang diminta rika saat sebelum
rika menutup mata.
“ganyangka ka, lu yang ceroboh, yang yang kocag,tapi  yang selalu mengutamakan keselamatan
 nomer satu malah jadi gini. Gamau apa liat perunggu gua? Gamau liaatt hahh?!! Ini buat lu ka,
buat lu. buat lu yang baru aja buat gua jadi intan yang dulu, yang selalu ada buat gua. Tapi lu
malah pergi ka?” ucap intan saat melihat keadaan jenazah dengan suara yang parau penuh
kepedihan.

Teman teman intan pun akhirnya hanya membiarkan intan mengeluarkan apa yang intan
rasakan saat itu sampai saatnya jenazah rika dikuburkan pada saat setelah sholat ashar.
Intan yang sekarang bukanlah intan yang dulu, ia sekarang menjadi orang yang periang
walaupun terkadang merasa sesak karna kepergian rika sang sahabatnya, orang tua intan
lebih memperhatikannya dan karate intanpun meluas karna ia sekarang mulai merambah
sebagai pelatih dan intan yang selalu bahagian dalam keadaan apapun. 

                                       Selesai

Bella Asahida Ave
XII IPA 1 
SMAN 106 JAKARTA