Perjalanan Hijrahku
Hari ini hari pertamaku masuk SMA Garuda. Aku meulusuri lorong mencari kelas XI-IPA 5 dan setelah lima menit mencari kelasku di lorong lantai dua, akhirnya aku menemukan kelasku. Aku duduk di kursi kosong barisan depan dekat pintu. Hanya kursi ini yang tersisa dan hanya kursi ini yang bisa kududuki. Teman sebangkuku sepertinya laki-laki, karena tas yang ada di sebelahku seperti model tas laki-laki yang berwarna hitam.Bel berbunyi. Kami melakukan tadarus pagi yang dipimpin oleh salah seorang murid melalui speker. Teman sebangkuku belum juga kembali ke kelas. Aku tak tahu dia kemana, mungkin kabur dari sekolah. Setelah tadarus, Wali Kelas menyuruhku memperkenalkan diri di depan kelas.
“Halo semua, saya Gita Putri Raihana. Kalian bisa panggil saya Gita atau Putri. Saya pindah dari Jakarta ke Bandung karena tempat papa saya bekerja dipindahkan ke kota ini, jadi saya dan….”
Tok tok tok
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kelas yang menyebabkan perkenalan diriku terpotong.
“Assalamu’alaikum, Bu” Seorang anak laki-laki yang berada di depan pintu memberi salam.
“Wa’alaikumsalam” Bu Weni hanya mengangguk tanda mempersilakan laki-laki itu duduk.
Dia berjalan ke kursi disebelah tempat dudukku yang membuatku menyimpulkan bahwa dialah yang akan menjadi teman sebangkuku. Dugaanku sebelumnya juga salah. Aku pikir dia tidak kembali ke kelas karena kabur ke kantin atau ke tempat persembunyiannya. Ternyata tidak. Dia adalah murid yang memimpin tadarus tadi dan Al-Qura’an di genggamannya lah yang membuatku menyimpulkan hal tersebut.
“Aduh mati gue, salah tempat duduk nih. Mana bisa gue sebangku sama anak ‘alim kayak dia. Bakal ngebosenin banget nih hidup gue di sini.” Pikiranku melayang ke mana-mana membayangkan bagaimana kehidupanku di sekolah ini selanjutnya.
Saat di Jakarta aku suka hangout bersama teman-temanku seperti ke mall, ke distro, atau ke tempat-tempat yang lagi happening di kalangan remaja sepertiku.
“Ya Gita kamu boleh langsung duduk aja.” Akupun berterimakasih pada Bu Weni dan langsung menuruti perintahnya. Aku memang suka hangout kesana-kemari dan gaul bersama teman-temanku, tapi aku bukan wanita nakal yang tidak tahu etika dan sopan santun.
Saat pelajaran berlangsung, yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana cara agar aku bisa pindah tempat duduk, tapi itu tidak mungkin. Teman-teman sekelasku tidak ada yang duduk sendiri dan kursinya pun pas untuk 36 siswa.
Empat jam pelajaran telah usai, bel tanda istirahatpun berbunyi. Laki-laki itu keluar begitu saja dan dia tidak mengeluarkan sepatah katapun padaku sejak tadi, tapi tak apa, aku juga tidak peduli. Aku memutuskan pergi ke kantin dan hanya untuk membeli es jeruk, kemudian kembali ke kelas. Aku menyeruput es jerukku sambil memainkan handphoneku.
“Ga makan?” Tiba-tiba laki-laki itu datang entah dari mana. Terkejut juga aku, laki-laki yang aku pikir ‘alim dan dingin itu ternyata bisa juga menegurku. Sebagai jawaban atas pertanyaannya itu aku hanya menoleh ke arahnya dan menggeleng, kemudian kembali pada handphoneku. Aku malas meladeninya, toh sejak tadi dia cuek padaku.
***
Setelah tiga hari aku duduk bersama laki-laki disebelahku ini, aku baru mengetahui bahwa namanya adalah Gio Raihan Putra, itupun karena aku tak sengaja melihat nama yang tertempel di kemejanya. Bingung juga aku mengetahui namanya mirip dengan namaku. ‘Gita Putri Raihana’.
Satu bulan sudah aku bersekolah di SMA Garuda ini. Aku kangen Jakarta , aku kangen dengan teman-temanku di sana, aku kangen hangout bersama mereka. Akhir-akhir ini mama juga sudah jarang mengajakku jalan-jalan karena ia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Mamaku adalah mama gaul yang kegaulannya tidak kalah dengan remaja jaman sekarang, makanya mama adalah teman curhat terbaikku, apalagi setelah pindah ke Bandung ini, setiap hari ada saja yang aku ceritakan pada mama saat kami nonton TV bersama. Mama sangat mengerti perasaanku dan mama sangat bisa membuatku tenang menghadapi semua masalahku.
Tiga bulan mengenal Gio, ternyata Gio tidak seperti yang aku pikirkan. Dia tidak sekolot yang aku pikirkan dan dia juga pandai bergaul dengan orang sekitar. Gio sangat mengerti cara mengajakku mengobrol saat pertama kami berbicara pada hari ke tiga kami duduk sebangku. Dia bilang selama dua hari itu, dia mencari cara mengajak bicara orang sombong sepertiku. Padahal aku tidak sombong. Aku hanya malas memperdulikan hal yang bukan urusanku. Aku juga sudah mulai bisa menceritakan kehidupanku dulu di Jakarta.
“Terus lo sekarang masih sering ketemu mereka?” Gio bertanya, menanggapi ceritaku.
“Udah gapernah, setiap gue hubungin mereka, gaada satupun yang ngangkat, padahal gue kangen sama mereka.” Aku berkata dengan nada lemah.
"Kenapa ga mulai nyari temen aja di sini? Gue liat juga lo kurang berbaur sama temen-temen di sini.” Dia memberi saran.
“Tapi gaada yang kayak temen gue di Jakarta, Gio, di sini gaada yang seseru mereka.” Spontan aku mencurahkan isi hatiku pada Gio, semoga dia tidak tersinggung dengan perkataanku
“Tapi kayaknya mereka udah lupa tuh sama lo, buktinya gaada yang ngangkat telpon lo atau ngehubungin lo balik kan?” Perkataan Gio membuatku terdiam memikirkannya. Sakit rasanya mendengar Gio mengatakan hal itu karena sepertinya memang itu kenyataannya.
“Move on lah Git, coba berbaur sama temen-temen di sini. Mungkin temen-temen di sini lebih baik dari mereka.” Gio melanjutkan perkataannya.
Aku berpikir sejenak. Bagaimana bisa teman-teman disini lebih baik untukku. Mereka itu anak yang kalem dan pendiam. Sedangkan aku, aku adalah anak yang tidak bisa berlama-lama berdiam diri di rumah saat weekend.
“Yaudah gue duluan ya.” Gio siap-siap merapikan buku-bukunya.
“Mau langsung pulang?”
Aku sebenarnya cerita pada Gio sejak istirahat kedua, tapi karena waktu istirahat sangat cepat jadi Gio baru bisa merespon ceritaku setelah bel pulang sekolah.
“Nggak, mau shalat ashar dulu.” Dia sudah mantap menggemblok tasnya.
“Shalat ashar?”
“Iya, mau ikut?”
“Hmm boleh deh, sekalian nunggu Pak Didi jemput.”
Saat sudah di masjid, aku agak takut untuk masuk ke masjid itu
“Hmm, Gio kita berjama’ah aja ya, gue takut lupa bacaannya.” Jujur sekli aku mengatakan hal itu. Kalau diingat-ingat, aku terakhir shalat itu kelas 9. Gio juga terlihat kaget mendengar aku berkata seperti itu.
“Oh iya, yaudah.”
Sudah lama aku tidak merasakan ketenangan saat shalat. Aku berdo’a agar Allah mengampuni semua dosa-dosaku. Setelah selesai shalat, kami keluar masjid bersama.
“Makasih ya io udah ngajak gue shalat.” Entah kenapa aku senang shalat bersama Gio.
“Iya sama-sama.” Dia tersenyum.
“Kalo gue mau nanya-nanya tentang shalat atau yang lain, lo bakal jawab kan?”
“Kapanpun, Git, selama gue masih bisa jawab pertanyaan lo.”
“Gio, kok lo ga nawarin gue pulang bareng sama lo sih? Biasanya temen-temen cowok gue di Jakarta pasti nawarin gue tebengan kalo mereka ngeliat gue masih nunggu jemputan.” Entahlah apa yang ada dipikiranku. Bisa-bisanya aku bertanya sefrontal itu padanya.
“Sorry ya Git, gue gabisa kayak mereka. Gue gabisa nebengin lo. Gue gaboleh nebengin lo. Lo ngerti kan maksud gue? Tapi gue bisa kok nungguin lo sampe di jemput” DEG. perkataan Gio langsung mengena di hatiku. Bodoh sekali sih aku menanyakan hal itu pada Gio. Mengapa aku bisa lupa kalau Gio itu anak ‘alim. Mungkin jika ada tempat duduk kosong yang masih tersisa di kelas, dia akan pindah lebih dulu dariku sebelum aku pindah darinya saat pertama aku masuk sekolah ini. Setelah 5 menit menunggu, akhirnya Pak Didi datang. Di sepanjang perjalanan pulang, aku masih menyesali perkataanku tadi.
***
Setelah 6 bulanh aku bersekolah di SMA Garuda aku makin mengenal Gio. Aku juga mulai berbaur dengan teman yang lain karena saran dan bantuannya. Memang benar kata Gio mereka lebih baik dari teman-temanku di Jakarta. Hari itu aku dan mama sedang ke toko baju di salah satu mall di Bandung. Aku bertemu dengan Sarah di sana dan aku langsung menyapanya dengan semangat, dia melihat kearahku dan dia hanya tersenyum seadanya padaku. Niatku untuk memluknya untuk mewakili kerinduanku dengan teman-teman lainnya terurung karena sikapnya yang seperti itu. Entah mengapa sakit sekali melihat sikap Sarah padaku seperti itu. Aku menahan sekuat tenaga agar air mataku tak jatuh. Apa salahku padanya.
Saat bel istirahat berbunyi dan Bu Weni sudah keluar kelas, Gio berdiri hendak keluar kelas. Aku sudah mulai hafal dengan kebiasaannya dia.
“Gio mau shalat Dhuha ya?” aku menebaknya dan pasti benar.
“Iya, mau ikut?”
“Mau dong, kayaknya gue gapernah shalat dhuha lagi deh sejak kelas 6 SD”
“Yaudah ayo” Dia tersenyum padaku. Entah apa maksud dari senyum itu. Senyum meledek atau senyum senang karena aku shalat dhuha.
Aku baru tahu, ternyata banyak juga yang shalat dhuha di sini. Wanita yang shalat dhuha di sini rata-rata memakai hijab panjang. Sudah jelas mereka adalah anak rohis. Aku jadi minder sendiri melihat mereka.
“Ukhti, nanti jangan lupa dateng rohis ya, nanti materinya tentang hijab, kalo bisa ajak temen-temen kalian juga ya, yang bukan anggotan rohis juga boleh ikut kok.” Salah satu anak rohis mengingatkan.
“Iya Ukhti, Insha Allah.” Temannya yang lain menjawab. Aku menguping permbicaraan mereka, tapi ada satu hal yang membuatku bingung. Kenapa dua-duanya namanya ukhti? Kenapa bisa kebetulah seerti itu?.
Setelah selesai shalat duha aku menceritakan kebingunganku pada Gio dan dia malah tertawa. Aku semakin bingung. Apa hanya aku yang tidak tahu mengapa mereka bernama ukhti?.
“Ukhti itu bahasa arab, Git. Itu panggilan buat perempuan.”
“Ohh gitu... hehe.” Jadi malu sendiri aku.
“Ohiya nanti lo rohis kan? Gue mau ikut dong.” Aku jadi teringat pembicaraan dua ukhti tadi.
“Iya, tapi di rohis itu ikhwan sama akhwat nya dipisah ya.”
“Itu artinya apa lagi?”
“Ikhwan artinya laki-laki, akhwat artinya perempuan, Gita”
“Ohh gitu. Maaf ya gue banyak nanya. Jangan marah dong jawabnya”
“Gue ga marah , Gita.”
“Yaudah pokoknya nanti gue ikut rohis, gue udah bilang Pak Didi buat jemput jam 5.”
“Tapi kayaknya gue udah gabisa nemenin lo nunggu jemputan deh, takut jadi fitnah”
“Oh iya, iya gue ngerti. Sorry ya”
Setelah bel pulang sekolah, aku ke masjid. Kali ini tidak bersama Gio. Gio sudah lebih dulu tadi. Setelah shalat ashar, acara rohis sudah akan dimulai. Aku duduk di belakang agar kehadiranku tidak menonjol. Pematerinya yang bernama Kak Hani, dia menjelaskan betapa pentingnya berhijab bagi wanita muslimah. Semua perkatannya menusukku. Aku seperti diserang dan disindir habis-habisan oleh pematerinya, walaupun sebenarnya ia tidak mengenalku.
Saat diperjalanan pulang kerumah, aku memikirkan perkataan Kak Hanii tentang hijab. Apakah aku berani untuk berhiab? Apakah aku sudah siap untuk berhijab? Aku ingin berhijab tapi seperti ada keraguan di hatiku.
Malam hari saat makan malam bersama mama papa dan bang Aldo, aku memikirkan bagaimana memberitahunya. Aku takut. Bismillahirrahmanirrahiim.
“Hmm Ma, Pa”
“Apa sayang?” Mama menjawab sambil menyuap nasi gorengnya.
“Aku mau berhijab.” Aku tidak berani menatap mereka saat aku mengatakan itu.
Mereka diam, saling menatap kebingungan.
“Kamu yakin dek?” Bang Aldo yang terlihat paling kaget.
Aku hanya mengangguk.
“Kalau itu yang terbaik buat kamu, papa akan mendukung nak.” Aku senang mendengarnya.
“Gimana ma? Tinggal mama yang belum menjawab?” Aku bertanya meminta kepastian. Persetujuan mama lah yang paling penting untukku.
“Berhijablah nak.” Mama tersenyum padaku. Lega sekali rasanya. Aku ingin menangis saat ini juga. Terimakasih Ya Allah.
***
Hari Senin ini terasa seperti Hari Senin pertamaku di SMA Garuda. Bercampur aduk perasaanku. Takut, grogi, ga percaya diri, nano-nano rasanya. Saat keluar dari mobil memasuki pintu gerbang, aku hanya berjalan menunduk, tidak berani menatap siapapun. Aku berjalan cepat menuju kelasku.
“Subhanallah, Git” Giolah yang pertama kali menyambutku di kelas. Dia tersenyum.
Aku hanya menunduk malu, tak menjawabnya. Aku langsung duduk disampingnya dan tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
“Gausah malu, Gita. Malu sama siapa sih? Hijrah ke jalan yang lebih baik itu gaperlu malu. Seharusnya lo juga bisa memotivasi mereka yang belum berhijab dengan cara tunjukkin ke mereka kalo Gita aja anak Jakarta yang keliatannya sombong bisa berhijab.” Panjang sekali petuah Gio, tapi membuatku memikirkannya juga. Sebenarnya apa yang membuatku malu. Aku tak perlu malu pada siapapun. Aku harus tunjukka bahwa inilah aku yang sekarang. Aku tak mau dibilang sombong terus. Aku tak mau mereka terus berfipikiran negatif tentangku.
“Enak aja sombong. Gue ga sombong Gio” Aku pura-pura protes padanya.
“Iya deh, lo cuma ga peduli sama hal yang bukan urusan lo kan?”
“Udah nggak kayak gitu lagi kok” Aku protes lagi padanya.
“Iya deh yang udah berubah.” Dia tertawa meledekku.
“Ihh nyebelin banget sih, temen berubah bukannya didukung malah diledekkin terus.” Sebal juga aku lama-lama diledekki terus-menerus.
“Maaf deh. By the way lo lebih cantik berhijab tau Git.”
DEG. Perasaan apa ini?. Mengapa ada yang aneh saat Gio mengatakan hal itu?. Seperti senang tapi rasanya aneh. Tak pernah aku merasakan hal seperti ini.
Tamat.
Dikarang oleh: Afifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar