Menunggu
Seharusnya aku jalani
hari-hariku dengan lebih bahagia. Tapi aku hanyalah remaja seperti yang lain,
ingin semua hal berjalan dengan baik. Teman-teman ku mengatakan kalau aku orang
nya egois, aku tak perduli omongan mereka. Setiap ada orang yang menurutku
menggangu, maka akan ku lawan. Aku tak perduli perasaan orang lain, sering kali
beberapa orang yang aku kenal menitikan air mata akibat ulah ku. Aku tak bisa
berbuat banyak, aku sangat muda dan sangat bodoh.
Aku masih 16 tahun saat pertama
kali memasuki SMAN 1 Redwood Hills, sekolah satu-satunya di kota yang ku
tinggali. Oh iya, aku belum mengenalkan diriku. Nama ku Finn Nandana, aku tinggal bersama ibuku dikota Redwood Hills. Aku adalah anak tunggal, aku sayang orang tuaku. Ketika aku masih
berumur 8 tahun, aku adalah anak yang bahagia, ceria, dan sangat ramah.
Saat itu lah aku
percaya jika cinta itu adalah hal yang nyata dan amat membuat bahagia, tetapi
tidak saat umur ku 13 tahun. Ketika aku lihat dengan mata kepala ku sendiri
bagaimana ayah menyiksa ibu, bagaimana caranya memukul ibu ku. Ayah ku selalu
mengatakan padaku bahwa ia sangat mencintai ibuku, tetapi kini ia seperti hewan
buas, dan ibu ku adalah mangsanya.
Ayahku adalah
seorang pemabuk, saat menikahi ibuku ia mengatakan akan menghentikan
kebiasaannya meminum minuman keras. Tetapi ternyata ia berbohong, kasihan
ibuku. Satu setengah tahun kemudian ibu ku menceraikan ayahku, dan aku memilih
ikut ibuku hingga saat ini. aku sayang sekali ibuku, kehidupan kami semakin
membaik. Tetapi aku masih melihat ada luka besar membekas di dada ibuku,
semenjak bercerai sikap ibu ku berubah. Ia tidak seceria dulu, tidak sehangat
dulu. Aku dapat memakluminya, aku tau bagaimana pedihnya perceraian itu
untuknya. Begitupun untuk diriku.
Perlahan-lahan aku menjadi
pendiam, aku tak percaya siapapun atau apapun. Aku tak percaya lagi akan hal
bernama cinta, bagiku cinta hanyalah kata tak berarti yang dikarang orang
asing.
Siapa perduli.
Bagiku tak ada yang nyata, semua hanya hal semu yang dibuat-buat orang untuk
membohongi dirinya sendiri. Aku tak perduli dengan perasaan orang lain, bahkan
setelah membuat seseorang menjauh karena kata-kata ku, aku pun tak merasakan
apa-apa. Aku tak punya teman disekolah, tetapi jika menurut kalian teman adalah
orang yang kau temui dikelas dan sekolah maka aku punya banyak.
Tetapi tak semua
mau menerimaku, hanya Reza dan Bobka lah yang bisa menerimaku. Aku pun tak mengerti
kenapa mereka bisa menerimaku, aku hanya berpikir mereka sudah kebal dengan
bisa dimulutku. Aku dingin dan tak punya perasaan, jarang ada yang mau bermain
denganku. Jadi ku lewati saja hari-hari dengan tanpa perasaan, hari datang dan
pergi. Tak ada bedanya.
Aku sama sekali tak pernah
menyangka kalau semua akan berakhir, entahlah harus ku sebut apa dia. putri
salju kah, atau Malaikat yang turun dari pesawat sukhoi, entahlah. Tetapi
kenyataannya dia memang manis, pasti otakku sudah hancur tertabrak truk saat
itu…
Namanya Emilia
Bell, ia adalah wanita bermata coklat. Dengan rambut hitam panjang sepinggang.
Well, aku tak bisa banyak mendeskripsikannya. Ketika aku melihat rambut
hitamnya yang panjang itu aku hanya teringat Dian Sastro. Hari itu aku sedang
di cafetaria, memakan makan siangku.
Aku sangat damai
saat itu, sama sekali tak ada yang berani mengganguku. Hingga saat sebuah gelas
berisi susu jatuh tepat dipangkuanku, aku sangat marah saat itu. Aku reflek berbicara
kata-kata kotor dan hal jahat. “maafkan aku, aku benar-benar tak sengaja. Aku
akan membantumu membersihkannya jika kau mau.” Sosok perempuan berlutut dan
mencoba membersihkan baju ku, seketika seluruh cafetaria melihat ke arahku. Aku
sangat kesal, aku lelah memarahi nya hingga akhirnya aku hanya menggeram.
Mataku melotot ke arah perempuan itu, seperti ingin keluar dari kelopaknya.
Aku beranjak dari tempat duduk
ku, dan langsung menuju toilet untuk membasuh pakaianku. Kutinggalkan perempuan
itu, aku tak perduli dengannya. Aku berharap dia ditabrak bus saja sepulang
sekolah nanti. Dengan susah payah ku bersihkan noda susu dipakaian ku, tetapi
ternyata air dari wastafel tak dapat membersihkannya. Tumpahan nya terlalu
pekat, aku hanya menahan marah hingga nafasku berat“. "Aku dapat
membantumu membersihkannya jika kau mau”. Aku menoleh, ternyata perempuan itu
sudah berdiri di pintu toilet. “yeah, kau dapat membantuku dengan tidak
menumpahkan susumu ke pakaianku”. Balasku dengan kesal. “Aku sudah minta maaf”.
“maaf tak akan membersihkan pakaianku”. “sini ku bantu bersihkan”. Perempuan
itu berdiri disebelahku, ia menunduk dan, memegang pakaianku lalu menggosok-gosok
di pancuran air. Aku sedikit canggung, tak ada perempuan yang berani sedekat
ini denganku sebelumnya. Begitu dekat hingga aku dapat melihat matanya yang
coklat, mata yang indah. “sudah, aku dapat membersihkan sendiri pakaianku”. Ku
tarik pakaian ku dari tangannya, ia mengangkat tubuhnya.
Aku lalu meneruskan
membersihkannya, tetapi sia-sia nodanya terlalu pekat. “kau tahu, sepertinya
kau bisa menggunakan ini”. mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang tenyata sebuah
pakaian. ”abang ku meninggalkan pakaiannya di tas ku, ku pikir ukuranmu tak
beda jauh dengannya. Pakailah”. Ia menyodorkan pakaian itu. “tidak terima
kasih”. Ku tolak dengan kasar. “ayolah, anggap saja ini permintaan maaf. Tadi kau
bilang maaf tak bisa membersihkan pakaianmu, tetapi setidaknya pakaian ini bisa
mengganti pakaianmu yang kotor”.
Aku
memandangnya, aku tak menyangka senyumnya sangat manis. Namun aku tetap menjaga
raut wajahku, aku tak mau ia menyadari kekaguman ku. “baiklah, tapi ingat kalau
saja aku tak harus masuk ke kelas biologi sehabis ini aku tak akan menerima
pakaian ini”. Aku melangkah menuju salah satu toilet untuk mengganti baju.
“baiklah, aku terima itu. Ngomong-ngomong namaku Emilia Bell”. Aku tak menjawabnya. Aku hanya keluar
dari toilet dan meninggalkannya. Aku bahkan tak melihat nya lagi ketika pergi.
Saat itu lah pertemuan ku yang
pertama kalinya. Saat itu aku tak lagi berharap atau mau bertemu dengan nya
lagi. Dan memang benar, aku tak bertemu lagi dengannya. Tetapi 2 minggu
kemudian saat aku sedang dikelas biologi, aku merasa ada seseorang duduk
didekatku. Ketika ku lihat, ternyata dia lagi. Aku sangat kesal melihatnya.
“masih kurang kau menumpahkan susu ke pakaianku, sekarang mau apa? Melemparku
dari jendela?” “hey, tenang. Aku tidak sesadis itu, walaupun kau adalah orang
yang paling menyebalkan disekolah ini.” “lalu kau mau apa?” ku lirik matanya
dengan tajam, tetapi sekali lagi mata coklatnya membuat pandanganku buyar. “Aku
hanya ingin mengembalikan ini”. Ia memberikan pakaian ku yang sudah bersih.
“kau meninggalkannya di toilet waktu itu, dan sudah ku cuci bersih. Aku pikir
sudah cukup permintaan maafku”. Perasaan marahku semakin hilang, sebaliknya aku
menjadi senang. “baiklah, ku terima permintaan maaf mu”. “ngomong-ngomong kau
belum memberitahu namamu”. “nama ku Finn Nandana”. “nama yang bagus, aku Emilia.”
“aku sudah tau itu, kau sudah menyebutkannya”. “oh, baiklah.” “kau tau Finn,
bagaimana jika ku traktir kau nonton. Saat ini dikota sedang ada film yang
bagus”, “tidak” Ku jawab dengan singkat. “Untuk kali ini saja, anggap ini
permintaan maafku yang terakhir.” senyum menggembang di bibirnya. “baiklah.
Sekarang bisakah kau pergi dari sini?” “okay, ku tunggu kau di depan sekolah
besok sore.” Ia pergi seketika.
Keesokan sorenya kami pergi ke
bioskop, aku tak manyangka ternyata Emilia adalah perempuan yang ceria. Ia
selalu membuatku tertawa dan tersenyum dengan omongan yang tak habis-habis,
bertahun-tahun aku jarang sekali tertawa. Bahkan aku lupa bagaimana rasanya
tertawa, aku berterima kasih kepadanya karena membuatku kembali tertawa.
Mudah-mudahan ia
mendengarnya. Hubungan kami semakin lama semakin dekat, Emilia selalu menemuiku
dan pulang bersama setelah sekolah. Aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatnya
nyaman terhadap pria sepertiku, aku dingin dan bukanlah teman yang baik. Aku
bahkan sering menyakiti orang lain, tetapi sepertinya ia tak perduli. Aku pun
nyaman terhadapnya, ingin sekali aku percaya sepenuhnya terhadapnya. Tetapi
sebagian diriku mengatakan jangan percaya dengannya, ingat bagaimana ayahmu
menyakiti ibumu. Tak ada yang sungguh-sungguh di dunia ini, semua hanya
pembohong. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melawan pikiran itu, senyum hangat
dan mata coklat Emilia membuatku semakin lama semakin percaya. Aku tak bisa
menahan yang sekarang aku rasakan, bahwa aku menyanyanginya.
Suatu malam ketika kami sedang
berada ditaman, aku pernah menanyakan kepadanya mengapa ia mau menghabiskan
waktu bersamaku. Ia hanya menjawab “kau mempunyai senyum yang indah, tapi
sayang kau jarang tersenyum. Awalnya aku pun membencimu, bagaimana kau
menyakiti orang lain atau bagaimana dinginnya kau dengan dunia. Tetapi kemudian
saat aku mendengar apa yang kau alami, aku hanya berpikir mungkin kau pria yang
baik. Semua orang tak akan mampu menghadapi apa yang kau alami, dan aku dapat
mengerti apa yang kau rasakan.” Ia mengatakannya dengan nada yang lembut dan
indah, bahkan ia tak melihatku saat berbicara. Ia hanya melihat ke langit
malam, padahal kami berbaring berdekatan, berbaring di rumput yang sama.
Kemudian ia memandang wajahku, sebuah senyuman mengembang dari bibirnya.
Seketika itu kepercayaanku kembali lagi, aku percaya bahwa diantara omong
kosong yang sering kita dengar pasti ada satu kebenaran yang bisa kita percaya.
Aku seperti hidup kembali, dan
bisa bernafas lega. Kini aku punya tujuan, aku tau itu. Aku merasa dapat
berlari sekencang-kencangnya untuk itu, mata coklat dan senyuman itu.
Hari-hariku semakin baik, hampir setiap hari aku habiskan untuk menghibur ibuku
dirumah. Aku tak akan selamat sendiri, aku harus menyelamatkan ibuku sama
seperti Emilia menyelamatkan ku. Tetapi sayang aku tak dapat menyelesaikannya,
aku tak pernah menyangka aku akan seperti ini.
Malam itu aku berjalan pulang
bersama Emilia, setelah seharian penuh menghabiskan waktu di kota. Karena rumah
Emilia tak jauh dari rumahku maka dia mengantarku sampai depan rumah. Seperti
biasanya, dia tak ingin ku antar karena alasan tertentu. Saat sudah di depan
rumahku, ku peluk dirinya dan ku kecup keningnya dan tak lupa ku katakan untuk
berhati hati. Ku lihat wajahnya yang terbias oleh cahaya lampu jalan sebelum ku
tutup pintu, aku berjalan dengan senyum yang menggembang. Koridor rumahku
sangat gelap waktu itu, pasti ibu ku sudah tidur, ku pikir begitu. Aku
melangkah ke kamarnya untuk mengecup dahinya dan mengucapkan selamat tidur.
Tetapi saat ku buka kamar ibu ku, aku melihat ayahku tengah menyayat leher
ibuku dengan pisau. Ibu ku sudah tergeletak berdarah di tangan ayahku, wajah
ayahku sangat menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari yang pernah ku lihat.
Air mataku menetes saat melihat tubuh ibu ku yang sudah tak bergerak, ayahku
menyeringai dan bangkit untuk mengejarku. ia mengatakan “kalian harus mati, tak
ada yang boleh meninggalkanku.”
Aku berlari melewati koridor yang
gelap, aku berlari sekencang-kencangnya. Ku dobrak pintu utama, aku berhamburan
keluar. Aku dapat melihat ayahku mengejar ku dengan pisau dapur di tangannya.
Aku akan mati ditangan ayahku sendiri. Tetapi aku tak mau menyerah, aku tetap
berlari sekuat tenaga dijalan yang sepi. Dari jauh aku melihat seorang berjalan
sendiri didepanku, ternyata dia adalah Emilia. Seketika aku berteriak padanya
agar ia lari, ia melihat aku berlari diikuti ayahku. Akupun mengulurkan tangan
dan menarik dirinya agar berlari lebih kencang. Ia tetap memegang tanganku,
kami berlari sekuat tenaga. Aku memberikannya semangat agar dia berlari lebih
kencang, langkah kaki nya semakin melambat. “lari Emilia, jangan melihat
kebelakang.” Aku berteriak kearahnya. Aku tau aku tak boleh menyerah. Tetapi
jantungku sudah seperti ditusuk-tusuk.
Hingga akhirnya kami sampai di
jembatan pembatas kota, Emilia sudah tak kuat lagi berlari. Aku dan Emilia
terhenti ditengah jembatan, “tetaplah berlari Emilia, mungkin dia masih
dibelakang.” “tapi aku sudah tidak kuat lagi.” “ ayolah Emilia, ku mohon.”
“baiklah.” Ia angkat tubuhnya, dan bersiap berlari. Tetapi sayang pisau ayahku
sudah terlebih dahulu menancap dipunggungku, dapat kurasakan nyeri di punggungku. Setiap kali ayahku
mencabut dan menancapkan pisaunya di punggungku rasa sakit itu seperti
meremukan tubuhku Tetapi yang
paling menyakitkan adalah saat melihat air mata jatuh dari mata Emilia, mata
yang selama ini menghangatkan ku. Hal terakhir yang ku dengar adalah teriakan Emilia
yang memanggil namaku, pandanganku
semakin memudar. Hingga akhirnya
ayahku melemparkan tubuhku ke sungai, tubuhku melayang diudara hingga akhirnya
mengahantam air sungai yang dingin. Saat itu lah terakhir kalinya aku melihat Emilia,
aku tak tahu apa yang ayahku lakukan terhadapnya. Aku rindu sekali dengannya, aku rindu
mata coklatnya, rambut hitam panjangnya. Hingga saat ini aku masih menunggu di
jembatan ini, hatiku hancur. Aku harus kehilangan orang yang baru saja
menyelamatkanku, orang yang aku sayangi. Tetapi aku akan tetap menanti di
jembatan ini, aku yakin dia akan datang kembali ke sini. Tiap malam aku memanggil-manggil
namanya dari balik gelapnya malam, dan setiap malam selalu ku tanyakan keberadaan
Emilia pada setiap yang lewat. Tetapi sepertinya mereka tak mengerti, aku tak
bermaksud menakuti mereka. Semakin lama semakin sedikit yang melewati jembatan
ini saat malam, hatiku memang hancur tapi aku tak berniat jahat. Aku pun tak
menyalahkan mereka, mungkin rupa ku yang tak bisa mereka terima.
Ayahku
meninggalkan luka tusukan pisaunya yang menganga lebar dipunggungku, bajuku pun
di penuhi darah. Hal yang paling mereka takuti adalah wajahku, aku masih ingat
bagaimana kerasnya aku menghantam air. Bagaimana perihnya mataku saat
menghantam air. Diantara dingin air sungai itu aku masih merasakan nyeri
diwajahku akibat menghantam batu didasar sungai. Aku pikir wajahku hancur,
hingga mereka tak lagi senang melihat ku.
Mereka menamai
jembatan ini dengan namaku, mungkin karena setiap malam aku selalu terlihat
dijembatan ini. aku yakin Emilia ada disuatu tempat, dan suatu hari ia pasti
menemukan jalan untuk kembali ke jembatan ini. dia pasti tau jika aku selalu
menunggunya disini, hingga kapan pun. Entah harus berapa tahun atau abad aku
harus menunggu, aku tak keberatan. Aku yakin ditempatnya sekarang Emilia dapat
mendengarku, seperti aku dapat mendengar desah nafasnya.
Emilia, dimana
pun kau berada saat ini. aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. Aku yakin
kau tahu itu. Jika kau mendengarku, maka datanglah kepadaku. Jika kau tersesat
ikuti suaraku, aku yakin kau dapat menemukanku. Aku tahu itu.
(Muhamad Alfath Ramadhan, 26 Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar