Kamis, 27 Oktober 2016

Menunggu

Menunggu

               Seharusnya aku jalani hari-hariku dengan lebih bahagia. Tapi aku hanyalah remaja seperti yang lain, ingin semua hal berjalan dengan baik. Teman-teman ku mengatakan kalau aku orang nya egois, aku tak perduli omongan mereka. Setiap ada orang yang menurutku menggangu, maka akan ku lawan. Aku tak perduli perasaan orang lain, sering kali beberapa orang yang aku kenal menitikan air mata akibat ulah ku. Aku tak bisa berbuat banyak, aku sangat muda dan sangat bodoh.

               Aku masih 16 tahun saat pertama kali memasuki SMAN 1 Redwood Hills, sekolah satu-satunya di kota yang ku tinggali. Oh iya, aku belum mengenalkan diriku. Nama ku Finn Nandana, aku tinggal bersama ibuku dikota Redwood Hills. Aku adalah anak tunggal, aku sayang orang tuaku. Ketika aku masih berumur 8 tahun, aku adalah anak yang bahagia, ceria, dan sangat ramah.
Saat itu lah aku percaya jika cinta itu adalah hal yang nyata dan amat membuat bahagia, tetapi tidak saat umur ku 13 tahun. Ketika aku lihat dengan mata kepala ku sendiri bagaimana ayah menyiksa ibu, bagaimana caranya memukul ibu ku. Ayah ku selalu mengatakan padaku bahwa ia sangat mencintai ibuku, tetapi kini ia seperti hewan buas, dan ibu ku adalah mangsanya.
Ayahku adalah seorang pemabuk, saat menikahi ibuku ia mengatakan akan menghentikan kebiasaannya meminum minuman keras. Tetapi ternyata ia berbohong, kasihan ibuku. Satu setengah tahun kemudian ibu ku menceraikan ayahku, dan aku memilih ikut ibuku hingga saat ini. aku sayang sekali ibuku, kehidupan kami semakin membaik. Tetapi aku masih melihat ada luka besar membekas di dada ibuku, semenjak bercerai sikap ibu ku berubah. Ia tidak seceria dulu, tidak sehangat dulu. Aku dapat memakluminya, aku tau bagaimana pedihnya perceraian itu untuknya. Begitupun untuk diriku.

               Perlahan-lahan aku menjadi pendiam, aku tak percaya siapapun atau apapun. Aku tak percaya lagi akan hal bernama cinta, bagiku cinta hanyalah kata tak berarti yang dikarang orang asing.
Siapa perduli. Bagiku tak ada yang nyata, semua hanya hal semu yang dibuat-buat orang untuk membohongi dirinya sendiri. Aku tak perduli dengan perasaan orang lain, bahkan setelah membuat seseorang menjauh karena kata-kata ku, aku pun tak merasakan apa-apa. Aku tak punya teman disekolah, tetapi jika menurut kalian teman adalah orang yang kau temui dikelas dan sekolah maka aku punya banyak.
Tetapi tak semua mau menerimaku, hanya Reza dan Bobka lah yang bisa menerimaku. Aku pun tak mengerti kenapa mereka bisa menerimaku, aku hanya berpikir mereka sudah kebal dengan bisa dimulutku. Aku dingin dan tak punya perasaan, jarang ada yang mau bermain denganku. Jadi ku lewati saja hari-hari dengan tanpa perasaan, hari datang dan pergi. Tak ada bedanya.

               Aku sama sekali tak pernah menyangka kalau semua akan berakhir, entahlah harus ku sebut apa dia. putri salju kah, atau Malaikat yang turun dari pesawat sukhoi, entahlah. Tetapi kenyataannya dia memang manis, pasti otakku sudah hancur tertabrak truk saat itu…
Namanya Emilia Bell, ia adalah wanita bermata coklat. Dengan rambut hitam panjang sepinggang. Well, aku tak bisa banyak mendeskripsikannya. Ketika aku melihat rambut hitamnya yang panjang itu aku hanya teringat Dian Sastro. Hari itu aku sedang di cafetaria, memakan makan siangku.
Aku sangat damai saat itu, sama sekali tak ada yang berani mengganguku. Hingga saat sebuah gelas berisi susu jatuh tepat dipangkuanku, aku sangat marah saat itu. Aku reflek berbicara kata-kata kotor dan hal jahat. “maafkan aku, aku benar-benar tak sengaja. Aku akan membantumu membersihkannya jika kau mau.” Sosok perempuan berlutut dan mencoba membersihkan baju ku, seketika seluruh cafetaria melihat ke arahku. Aku sangat kesal, aku lelah memarahi nya hingga akhirnya aku hanya menggeram. Mataku melotot ke arah perempuan itu, seperti ingin keluar dari kelopaknya.

               Aku beranjak dari tempat duduk ku, dan langsung menuju toilet untuk membasuh pakaianku. Kutinggalkan perempuan itu, aku tak perduli dengannya. Aku berharap dia ditabrak bus saja sepulang sekolah nanti. Dengan susah payah ku bersihkan noda susu dipakaian ku, tetapi ternyata air dari wastafel tak dapat membersihkannya. Tumpahan nya terlalu pekat, aku hanya menahan marah hingga nafasku berat“. "Aku dapat membantumu membersihkannya jika kau mau”. Aku menoleh, ternyata perempuan itu sudah berdiri di pintu toilet. “yeah, kau dapat membantuku dengan tidak menumpahkan susumu ke pakaianku”. Balasku dengan kesal. “Aku sudah minta maaf”. “maaf tak akan membersihkan pakaianku”. “sini ku bantu bersihkan”. Perempuan itu berdiri disebelahku, ia menunduk dan, memegang pakaianku lalu menggosok-gosok di pancuran air. Aku sedikit canggung, tak ada perempuan yang berani sedekat ini denganku sebelumnya. Begitu dekat hingga aku dapat melihat matanya yang coklat, mata yang indah. “sudah, aku dapat membersihkan sendiri pakaianku”. Ku tarik pakaian ku dari tangannya, ia mengangkat tubuhnya.

               Aku lalu meneruskan membersihkannya, tetapi sia-sia nodanya terlalu pekat. “kau tahu, sepertinya kau bisa menggunakan ini”. mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang tenyata sebuah pakaian. ”abang ku meninggalkan pakaiannya di tas ku, ku pikir ukuranmu tak beda jauh dengannya. Pakailah”. Ia menyodorkan pakaian itu. “tidak terima kasih”. Ku tolak dengan kasar. “ayolah, anggap saja ini permintaan maaf. Tadi kau bilang maaf tak bisa membersihkan pakaianmu, tetapi setidaknya pakaian ini bisa mengganti pakaianmu yang kotor”.
Aku memandangnya, aku tak menyangka senyumnya sangat manis. Namun aku tetap menjaga raut wajahku, aku tak mau ia menyadari kekaguman ku. “baiklah, tapi ingat kalau saja aku tak harus masuk ke kelas biologi sehabis ini aku tak akan menerima pakaian ini”. Aku melangkah menuju salah satu toilet untuk mengganti baju. “baiklah, aku terima itu. Ngomong-ngomong namaku Emilia Bell”. Aku tak menjawabnya. Aku hanya keluar dari toilet dan meninggalkannya. Aku bahkan tak melihat nya lagi ketika pergi.

               Saat itu lah pertemuan ku yang pertama kalinya. Saat itu aku tak lagi berharap atau mau bertemu dengan nya lagi. Dan memang benar, aku tak bertemu lagi dengannya. Tetapi 2 minggu kemudian saat aku sedang dikelas biologi, aku merasa ada seseorang duduk didekatku. Ketika ku lihat, ternyata dia lagi. Aku sangat kesal melihatnya. “masih kurang kau menumpahkan susu ke pakaianku, sekarang mau apa? Melemparku dari jendela?” “hey, tenang. Aku tidak sesadis itu, walaupun kau adalah orang yang paling menyebalkan disekolah ini.” “lalu kau mau apa?” ku lirik matanya dengan tajam, tetapi sekali lagi mata coklatnya membuat pandanganku buyar. “Aku hanya ingin mengembalikan ini”. Ia memberikan pakaian ku yang sudah bersih. “kau meninggalkannya di toilet waktu itu, dan sudah ku cuci bersih. Aku pikir sudah cukup permintaan maafku”. Perasaan marahku semakin hilang, sebaliknya aku menjadi senang. “baiklah, ku terima permintaan maaf mu”. “ngomong-ngomong kau belum memberitahu namamu”. “nama ku Finn Nandana”. “nama yang bagus, aku Emilia.” “aku sudah tau itu, kau sudah menyebutkannya”. “oh, baiklah.” “kau tau Finn, bagaimana jika ku traktir kau nonton. Saat ini dikota sedang ada film yang bagus”, “tidak” Ku jawab dengan singkat. “Untuk kali ini saja, anggap ini permintaan maafku yang terakhir.” senyum menggembang di bibirnya. “baiklah. Sekarang bisakah kau pergi dari sini?” “okay, ku tunggu kau di depan sekolah besok sore.” Ia pergi seketika.

               Keesokan sorenya kami pergi ke bioskop, aku tak manyangka ternyata Emilia adalah perempuan yang ceria. Ia selalu membuatku tertawa dan tersenyum dengan omongan yang tak habis-habis, bertahun-tahun aku jarang sekali tertawa. Bahkan aku lupa bagaimana rasanya tertawa, aku berterima kasih kepadanya karena membuatku kembali tertawa.
Mudah-mudahan ia mendengarnya. Hubungan kami semakin lama semakin dekat, Emilia selalu menemuiku dan pulang bersama setelah sekolah. Aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatnya nyaman terhadap pria sepertiku, aku dingin dan bukanlah teman yang baik. Aku bahkan sering menyakiti orang lain, tetapi sepertinya ia tak perduli. Aku pun nyaman terhadapnya, ingin sekali aku percaya sepenuhnya terhadapnya. Tetapi sebagian diriku mengatakan jangan percaya dengannya, ingat bagaimana ayahmu menyakiti ibumu. Tak ada yang sungguh-sungguh di dunia ini, semua hanya pembohong. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melawan pikiran itu, senyum hangat dan mata coklat Emilia membuatku semakin lama semakin percaya. Aku tak bisa menahan yang sekarang aku rasakan, bahwa aku menyanyanginya.

               Suatu malam ketika kami sedang berada ditaman, aku pernah menanyakan kepadanya mengapa ia mau menghabiskan waktu bersamaku. Ia hanya menjawab “kau mempunyai senyum yang indah, tapi sayang kau jarang tersenyum. Awalnya aku pun membencimu, bagaimana kau menyakiti orang lain atau bagaimana dinginnya kau dengan dunia. Tetapi kemudian saat aku mendengar apa yang kau alami, aku hanya berpikir mungkin kau pria yang baik. Semua orang tak akan mampu menghadapi apa yang kau alami, dan aku dapat mengerti apa yang kau rasakan.” Ia mengatakannya dengan nada yang lembut dan indah, bahkan ia tak melihatku saat berbicara. Ia hanya melihat ke langit malam, padahal kami berbaring berdekatan, berbaring di rumput yang sama. Kemudian ia memandang wajahku, sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Seketika itu kepercayaanku kembali lagi, aku percaya bahwa diantara omong kosong yang sering kita dengar pasti ada satu kebenaran yang bisa kita percaya.

               Aku seperti hidup kembali, dan bisa bernafas lega. Kini aku punya tujuan, aku tau itu. Aku merasa dapat berlari sekencang-kencangnya untuk itu, mata coklat dan senyuman itu. Hari-hariku semakin baik, hampir setiap hari aku habiskan untuk menghibur ibuku dirumah. Aku tak akan selamat sendiri, aku harus menyelamatkan ibuku sama seperti Emilia menyelamatkan ku. Tetapi sayang aku tak dapat menyelesaikannya, aku tak pernah menyangka aku akan seperti ini.

               Malam itu aku berjalan pulang bersama Emilia, setelah seharian penuh menghabiskan waktu di kota. Karena rumah Emilia tak jauh dari rumahku maka dia mengantarku sampai depan rumah. Seperti biasanya, dia tak ingin ku antar karena alasan tertentu. Saat sudah di depan rumahku, ku peluk dirinya dan ku kecup keningnya dan tak lupa ku katakan untuk berhati hati. Ku lihat wajahnya yang terbias oleh cahaya lampu jalan sebelum ku tutup pintu, aku berjalan dengan senyum yang menggembang. Koridor rumahku sangat gelap waktu itu, pasti ibu ku sudah tidur, ku pikir begitu. Aku melangkah ke kamarnya untuk mengecup dahinya dan mengucapkan selamat tidur. Tetapi saat ku buka kamar ibu ku, aku melihat ayahku tengah menyayat leher ibuku dengan pisau. Ibu ku sudah tergeletak berdarah di tangan ayahku, wajah ayahku sangat menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari yang pernah ku lihat. Air mataku menetes saat melihat tubuh ibu ku yang sudah tak bergerak, ayahku menyeringai dan bangkit untuk mengejarku. ia mengatakan “kalian harus mati, tak ada yang boleh meninggalkanku.”

               Aku berlari melewati koridor yang gelap, aku berlari sekencang-kencangnya. Ku dobrak pintu utama, aku berhamburan keluar. Aku dapat melihat ayahku mengejar ku dengan pisau dapur di tangannya. Aku akan mati ditangan ayahku sendiri. Tetapi aku tak mau menyerah, aku tetap berlari sekuat tenaga dijalan yang sepi. Dari jauh aku melihat seorang berjalan sendiri didepanku, ternyata dia adalah Emilia. Seketika aku berteriak padanya agar ia lari, ia melihat aku berlari diikuti ayahku. Akupun mengulurkan tangan dan menarik dirinya agar berlari lebih kencang. Ia tetap memegang tanganku, kami berlari sekuat tenaga. Aku memberikannya semangat agar dia berlari lebih kencang, langkah kaki nya semakin melambat. “lari Emilia, jangan melihat kebelakang.” Aku berteriak kearahnya. Aku tau aku tak boleh menyerah. Tetapi jantungku sudah seperti ditusuk-tusuk.
              
               Hingga akhirnya kami sampai di jembatan pembatas kota, Emilia sudah tak kuat lagi berlari. Aku dan Emilia terhenti ditengah jembatan, “tetaplah berlari Emilia, mungkin dia masih dibelakang.” “tapi aku sudah tidak kuat lagi.” “ ayolah Emilia, ku mohon.” “baiklah.” Ia angkat tubuhnya, dan bersiap berlari. Tetapi sayang pisau ayahku sudah terlebih dahulu menancap dipunggungku, dapat kurasakan nyeri di punggungku. Setiap kali ayahku mencabut dan menancapkan pisaunya di punggungku rasa sakit itu seperti meremukan tubuhku Tetapi yang paling menyakitkan adalah saat melihat air mata jatuh dari mata Emilia, mata yang selama ini menghangatkan ku. Hal terakhir yang ku dengar adalah teriakan Emilia yang memanggil namaku, pandanganku semakin memudar. Hingga akhirnya ayahku melemparkan tubuhku ke sungai, tubuhku melayang diudara hingga akhirnya mengahantam air sungai yang dingin. Saat itu lah terakhir kalinya aku melihat Emilia, aku tak tahu apa yang ayahku lakukan terhadapnya. Aku rindu sekali dengannya, aku rindu mata coklatnya, rambut hitam panjangnya. Hingga saat ini aku masih menunggu di jembatan ini, hatiku hancur. Aku harus kehilangan orang yang baru saja menyelamatkanku, orang yang aku sayangi. Tetapi aku akan tetap menanti di jembatan ini, aku yakin dia akan datang kembali ke sini. Tiap malam aku memanggil-manggil namanya dari balik gelapnya malam, dan setiap malam selalu ku tanyakan keberadaan Emilia pada setiap yang lewat. Tetapi sepertinya mereka tak mengerti, aku tak bermaksud menakuti mereka. Semakin lama semakin sedikit yang melewati jembatan ini saat malam, hatiku memang hancur tapi aku tak berniat jahat. Aku pun tak menyalahkan mereka, mungkin rupa ku yang tak bisa mereka terima.
Ayahku meninggalkan luka tusukan pisaunya yang menganga lebar dipunggungku, bajuku pun di penuhi darah. Hal yang paling mereka takuti adalah wajahku, aku masih ingat bagaimana kerasnya aku menghantam air. Bagaimana perihnya mataku saat menghantam air. Diantara dingin air sungai itu aku masih merasakan nyeri diwajahku akibat menghantam batu didasar sungai. Aku pikir wajahku hancur, hingga mereka tak lagi senang melihat ku.

                Mereka menamai jembatan ini dengan namaku, mungkin karena setiap malam aku selalu terlihat dijembatan ini. aku yakin Emilia ada disuatu tempat, dan suatu hari ia pasti menemukan jalan untuk kembali ke jembatan ini. dia pasti tau jika aku selalu menunggunya disini, hingga kapan pun. Entah harus berapa tahun atau abad aku harus menunggu, aku tak keberatan. Aku yakin ditempatnya sekarang Emilia dapat mendengarku, seperti aku dapat mendengar desah nafasnya.
Emilia, dimana pun kau berada saat ini. aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. Aku yakin kau tahu itu. Jika kau mendengarku, maka datanglah kepadaku. Jika kau tersesat ikuti suaraku, aku yakin kau dapat menemukanku. Aku tahu itu.


(Muhamad Alfath Ramadhan, 26 Oktober 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar