UMANG
oleh : Maudy Pratiwi Arfi (22)
Kulangkahkan kakiku buru-buru di lorong suatu gedung yang
merupakan bagian dari universitas tempat kuliahku. Jam menunjukkan pukul 12.00.
“ Wah benar-benar harus bergegas nih aku”, kataku dalam hati. Bagaimana aku
tidak harus bergegas? Adikku yang baru masuk sekolah dasar sedang menungguku
untuk dijemput. Segera aku menuju stasiun terdekat dari fakultas tempatku
kuliah dan memesan tiket kereta menuju stasiun kereta yang dekat dengan sekolah
adikku sekaligus tempat tinggalku. Sengaja aku memasukkan adikku ke sekolah
dasar dekat rumah karena memang dia masih sd dan aku juga ingin kedepannya dia
bisa ke sekolah sendiri tanpa harus aku antar jemput. Berhubung ini hari
pertamanya sekolah, aku harus mengantar dan menjemputnya.
Setelah sampai di peron
stasiun, tak perlu menunggu lama kereta tujuanku tiba. Aku langsung masuk dan
duduk di bangku kereta. Untung saja kereta sedang tidak penuh. Jadi, aku bisa
sejenak mengistirahatkan kaki-kakiku yang berharga ini setelah duduk selama 3
jam untuk mendengar dosen mata kuliahku hari ini.
“Anda telah tiba di stasiun Pondok Cina. Periksa barang bawaan anda dan
hati-hati melangkah saat keluar dari kereta. Terimakasih telah menggunakan
layanan kereta ini.”
Pemberitahuan dari pengeras suara
dalam kereta ini mengagetkanku. Tadi aku tertidur sebentar, aku juga tidak
sadar mengapa aku bisa tertidur. Untung saja aku kaget dan bangun di saat yang
tepat. Pondok Cina adalah stasiun tujuanku. Aku bergegas keluar kereta dan
langsung keluar stasiun dan menuju sekolah dasar tempat adikku bersekolah. Kulirik
jam tanganku, “Ya ampun, ini sudah hampir setengah satu siang!” jeritku dalam
hati. Terlambat. Ya, sangat terlambat untuk menjemput karena adikku pulang jam
12 siang.
“Umang!” teriakku saat aku
melihat dia duduk di ayunan sekolahnya sambil menatap ujung-ujung sepatunya.
“Udah nunggu lama ya… Maafin
kakak ya?” kataku sambil mengelus rambutnya yang selembut sutra.
Dia menoleh kepadaku
kemudian dia menunduk lagi “Kakak lupa sama Umang ya…”
“Enggak kok.. Kakak tadi ada
jam kuliah…. Harus belajar juga sama kayak Umang… Jadi maafin kakak yaaa? Mau ya?
Eskrim deh eskrim…” kataku sambil mencubit pelan kedua pipinya yang agak gembul
itu.
Tanpa aba-aba Umang langsung
berdiri dari ayunan itu dan tersenyum lebar.
“Ayo cepat Kak! Nanti eskrimnya
habis” kata Umang sambil menarik tanganku
“Iya iyaa.. pelan pelan
jalannya nanti kalo kita berdua jatuh, gak jadi beli eskrimnya nih”
“Hehehe, iya Kak” ujar Umang
Aku dan Umang jalan
beriringan menuju toko retail serba ada dekat sekolah umang. Setelah memilih
eskrim kesukaan masing-masing aku menuju kasir dan membayar eskrim tersebut.
Keluar dari toko, aku dan
umang melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Aku melihat Umang sedang makan
eskrim, tapi aku juga melihat masih ada sisa-sisa kesedihan dalam dirinya.
“Umang kenapa? Ayo cerita
sama kakak.”
“Kakak, kenapa bisa tau sih
kalo Umang lagi ada sesuatu.” Ucapnya sedikit frustasi.
“Hahaha, ya tau dong… Umang
kan adik kak Uci, dari kecil juga mainnya sama kakak. Ya kakak tau gimana Umang”
balasku sambil tersenyum dan mengacak rambut Umang.
“Aku mau tanya kak, kenapa
sekarang kita jalan kaki? Kan bisa naik ojek. Umang capek tau kak…”
“Umang, dengerin ya, kakak
mau kamu mandiri… lagian dari sekolah kamu ke rumah kan gak jauh. Jalan kaki
lebih sehat loh. Terus kakak sengaja aja mau ajak kamu jalan-jalan keliling
rumah biar kamu tau keadaan sekitar rumah gimana.”
“Hm.. gitu kak..” balasnya
“Bukan cuma itu kan yang mau
kamu omongin, ayo cerita lagi… Dari mata kamu sih kakak liat masih ada
pertanyaan tuh. Bener kan?” tanyaku
Wajah Umang memerah
seketika. Pasti dugaanku benar. Ada pertanyaan lagi yang akan keluar dari
mulutnya. Tapi kali ini, aku merasa pertanyaan yang akan dilontarkan Umang
mengenai hal yang agak sulit kujelaskan.
“kak, ayah itu gabisa
ngomong kenapa? Umang iri sama temen-temen yang lain punya orangtua lengkap
bisa cerita ini-itu sama ayahnya.”
Nah firasatku memang benar. Umang
menanyakan soal itu. Ayahku memang tidak bisa lagi berbicara. Itu karena
peristiwa empat tahun silam yang juga merenggut nyawa ibuku. Aku bingung bagaimana
menjawab pertanyaan Umang. Kujawab saja “Empat tahun lalu ada kecelakaan yang
bikin ayah jadi gabisa bicara lagi. Umang kecewa ya punya ayah yang gabisa
bicara?”
“Hm… “ gumamnya sambil
mengangguk pelan.
Aku terdiam sejenak.
Aku mengajak umang pulang ke
rumah sambil memutar jalan karena aku tau di sekitar jalan memutar itu ada
panti asuhan. Sengaja memang aku melakukan ini. Sengaja karena akhirnya
pernyataan bahwa ia kecewa punya ayah yang tidak lagi bisa berbicara mengusik
hatiku. Ingin segera aku meluruskan presepsi Umang yang demikian. Aku tidak
ingin hubungan Umang dengan ayah menjadi longgar.
“Umang lihat deh, itu
anak-anak yang lagi main di taman bermain panti itu. Mereka keliatan seneng
gak?” tanyaku
“Iya kak,” jawab Umang
sambil mengangguk
“Padahal mereka gak punya
orangtua loh, tapi bisa senang kan? Bisa main-main sama teman dengan ceria kan?
Loh, kok Umang yang masih punya ayah malah kecewa gitu? Malu dong sama mereka? Jadi… Umang
gaboleh kecewa gitu ya… Oke?”
“Iya ya kak,” Umang menunduk
kemudian sedetik kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
“Iya kak, umang udah gak
kecewa lagi.” tambahnya
“Nah gitu baru adik kak Uci”
kataku sambil mengelus rambut umang.
Sambil berjalan, aku jadi
memikirkan peristiwa empat tahun lalu. Peristiwa yang merenggut nyawa ibuku dan
suara ayahku. Sebenarnya ada satu anggota keluarga kami yang juga terlibat
dalam kecelakaan itu. Ya yang kumaksud itu Umang. Saat dia berumur 4 tahun rumah
kami kebakaran. Ayah hanya bisa menyelamatkan Umang dan meninggalkan ibu. Akhirnya
ibu meninggal dan itu menyisakan kesedihan yang amat dalam untuk ayah sehingga
ayah tidak lagi bisa bicara. Aku memilih menyimpan rahasia ini dari Umang, aku
tidak mau dia tahu bahwa ada perannya dalam peristiwa empat tahun lalu itu.
Tak terasa kami berjalan,
rumah kami juga sudah terlihat. Di depan sudah ada ayah yang menunggu
kepulangan aku dan Umang. Umang yang tadinya kecewa dengan ayah langsung
berlari menuju pelukan ayah dan menceritakan bagaimana harinya di sekolah. Aku tersenyum
puas melihat hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar