Kamis, 27 Oktober 2016

UMANG

UMANG

oleh : Maudy Pratiwi Arfi (22)
                                                                                                    
Kulangkahkan kakiku  buru-buru di lorong suatu gedung yang merupakan bagian dari universitas tempat kuliahku. Jam menunjukkan pukul 12.00. “ Wah benar-benar harus bergegas nih aku”, kataku dalam hati. Bagaimana aku tidak harus bergegas? Adikku yang baru masuk sekolah dasar sedang menungguku untuk dijemput. Segera aku menuju stasiun terdekat dari fakultas tempatku kuliah dan memesan tiket kereta menuju stasiun kereta yang dekat dengan sekolah adikku sekaligus tempat tinggalku. Sengaja aku memasukkan adikku ke sekolah dasar dekat rumah karena memang dia masih sd dan aku juga ingin kedepannya dia bisa ke sekolah sendiri tanpa harus aku antar jemput. Berhubung ini hari pertamanya sekolah, aku harus mengantar dan menjemputnya.

Setelah sampai di peron stasiun, tak perlu menunggu lama kereta tujuanku tiba. Aku langsung masuk dan duduk di bangku kereta. Untung saja kereta sedang tidak penuh. Jadi, aku bisa sejenak mengistirahatkan kaki-kakiku yang berharga ini setelah duduk selama 3 jam untuk mendengar dosen mata kuliahku hari ini.  
“Anda telah tiba di stasiun Pondok Cina. Periksa barang bawaan anda dan hati-hati melangkah saat keluar dari kereta. Terimakasih telah menggunakan layanan kereta ini.”
Pemberitahuan dari pengeras suara dalam kereta ini mengagetkanku. Tadi aku tertidur sebentar, aku juga tidak sadar mengapa aku bisa tertidur. Untung saja aku kaget dan bangun di saat yang tepat. Pondok Cina adalah stasiun tujuanku. Aku bergegas keluar kereta dan langsung keluar stasiun dan menuju sekolah dasar tempat adikku bersekolah. Kulirik jam tanganku, “Ya ampun, ini sudah hampir setengah satu siang!” jeritku dalam hati. Terlambat. Ya, sangat terlambat untuk menjemput karena adikku pulang jam 12 siang.
“Umang!” teriakku saat aku melihat dia duduk di ayunan sekolahnya sambil menatap ujung-ujung sepatunya.
“Udah nunggu lama ya… Maafin kakak ya?” kataku sambil mengelus rambutnya yang selembut sutra.
Dia menoleh kepadaku kemudian dia menunduk lagi “Kakak lupa sama Umang ya…”
“Enggak kok.. Kakak tadi ada jam kuliah…. Harus belajar juga sama kayak Umang… Jadi maafin kakak yaaa? Mau ya? Eskrim deh eskrim…” kataku sambil mencubit pelan kedua pipinya yang agak gembul itu.
Tanpa aba-aba Umang langsung berdiri dari ayunan itu dan tersenyum lebar.
“Ayo cepat Kak! Nanti eskrimnya habis” kata Umang sambil menarik tanganku
“Iya iyaa.. pelan pelan jalannya nanti kalo kita berdua jatuh, gak jadi beli eskrimnya nih”
“Hehehe, iya Kak” ujar Umang
Aku dan Umang jalan beriringan menuju toko retail serba ada dekat sekolah umang. Setelah memilih eskrim kesukaan masing-masing aku menuju kasir dan membayar eskrim tersebut.
Keluar dari toko, aku dan umang melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Aku melihat Umang sedang makan eskrim, tapi aku juga melihat masih ada sisa-sisa kesedihan dalam dirinya.
“Umang kenapa? Ayo cerita sama kakak.”
“Kakak, kenapa bisa tau sih kalo Umang lagi ada sesuatu.” Ucapnya sedikit frustasi.
“Hahaha, ya tau dong… Umang kan adik kak Uci, dari kecil juga mainnya sama kakak. Ya kakak tau gimana Umang” balasku sambil tersenyum dan mengacak rambut Umang.
“Aku mau tanya kak, kenapa sekarang kita jalan kaki? Kan bisa naik ojek. Umang capek tau kak…”
“Umang, dengerin ya, kakak mau kamu mandiri… lagian dari sekolah kamu ke rumah kan gak jauh. Jalan kaki lebih sehat loh. Terus kakak sengaja aja mau ajak kamu jalan-jalan keliling rumah biar kamu tau keadaan sekitar rumah gimana.”
“Hm.. gitu kak..” balasnya
“Bukan cuma itu kan yang mau kamu omongin, ayo cerita lagi… Dari mata kamu sih kakak liat masih ada pertanyaan tuh. Bener kan?” tanyaku
Wajah Umang memerah seketika. Pasti dugaanku benar. Ada pertanyaan lagi yang akan keluar dari mulutnya. Tapi kali ini, aku merasa pertanyaan yang akan dilontarkan Umang mengenai hal yang agak sulit kujelaskan.
“kak, ayah itu gabisa ngomong kenapa? Umang iri sama temen-temen yang lain punya orangtua lengkap bisa cerita ini-itu sama ayahnya.”
Nah firasatku memang benar. Umang menanyakan soal itu. Ayahku memang tidak bisa lagi berbicara. Itu karena peristiwa empat tahun silam yang juga merenggut nyawa ibuku. Aku bingung bagaimana menjawab pertanyaan Umang. Kujawab saja “Empat tahun lalu ada kecelakaan yang bikin ayah jadi gabisa bicara lagi. Umang kecewa ya punya ayah yang gabisa bicara?”
“Hm… “ gumamnya sambil mengangguk pelan.
Aku terdiam sejenak.
Aku mengajak umang pulang ke rumah sambil memutar jalan karena aku tau di sekitar jalan memutar itu ada panti asuhan. Sengaja memang aku melakukan ini. Sengaja karena akhirnya pernyataan bahwa ia kecewa punya ayah yang tidak lagi bisa berbicara mengusik hatiku. Ingin segera aku meluruskan presepsi Umang yang demikian. Aku tidak ingin hubungan Umang dengan ayah menjadi longgar.
“Umang lihat deh, itu anak-anak yang lagi main di taman bermain panti itu. Mereka keliatan seneng gak?” tanyaku
“Iya kak,” jawab Umang sambil mengangguk
“Padahal mereka gak punya orangtua loh, tapi bisa senang kan? Bisa main-main sama teman dengan ceria kan? Loh, kok Umang yang masih punya ayah malah kecewa  gitu? Malu dong sama mereka? Jadi… Umang gaboleh kecewa gitu ya… Oke?”
“Iya ya kak,” Umang menunduk kemudian sedetik kemudian dia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
“Iya kak, umang udah gak kecewa lagi.” tambahnya
“Nah gitu baru adik kak Uci” kataku sambil mengelus rambut umang.
Sambil berjalan, aku jadi memikirkan peristiwa empat tahun lalu. Peristiwa yang merenggut nyawa ibuku dan suara ayahku. Sebenarnya ada satu anggota keluarga kami yang juga terlibat dalam kecelakaan itu. Ya yang kumaksud itu Umang. Saat dia berumur 4 tahun rumah kami kebakaran. Ayah hanya bisa menyelamatkan Umang dan meninggalkan ibu. Akhirnya ibu meninggal dan itu menyisakan kesedihan yang amat dalam untuk ayah sehingga ayah tidak lagi bisa bicara. Aku memilih menyimpan rahasia ini dari Umang, aku tidak mau dia tahu bahwa ada perannya dalam peristiwa empat tahun lalu itu.
Tak terasa kami berjalan, rumah kami juga sudah terlihat. Di depan sudah ada ayah yang menunggu kepulangan aku dan Umang. Umang yang tadinya kecewa dengan ayah langsung berlari menuju pelukan ayah dan menceritakan bagaimana harinya di sekolah. Aku tersenyum puas melihat hal itu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar