DEMI AYAHKU
Aku bernama cantika yang berumur 15 tahun. Aku masih duduk di kelas 1 SMA namun aku tidak
seperti kebanyakan anak-anak yang lain. Aku mempunyai ayah bernama Pak Rudi yang hanya
bekerja sebagai penjual kerupuk keliling dan ibuku bernama Bu Inem yang bekerja hanya sebagai
penjual gado-gado di depan rumahku. Sudah 3 tahun, ayahku mengidap penyakit kanker namun
tidak pernah dibawa ke rumah sakit dikarenakan biaya untuk berobat yang tidak memadai.
Setiap aku pulang sekolah, aku tidak mempunyai waktu untuk bermain bahkan untuk bercakap
ria membicarakan kejadian apa yang ada di sekolah pun tidak, aku harus bekerja untuk
membantu orang tuaku mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku sadar maka dari itu aku harus
giat belajar agar dapat merubah keadaan yang lebih baik dari sekarang dan tak lupa aku harus
berdoa agar Allah mau mengubah nasib keluargaku.
Suatu hari aku sedang berada di sekolah, tiba-tiba ada yang memanggil namaku dari belakang
dan saat aku menoleh ke belakang ternyata ibuku yang memanggilku. Aku bingung ada
apa ibu ke sekolah. Tak sempat aku bertanya, ibu sudah memberitahuku duluan kalau aya
masuk rumah sakit Hermina karena tadi ayah pingsan saat berjualan dan kondisinya sekarang
sedang kritis. Tubuhku menegang dan tanpa disadari air mata membasahi pipiku.
Tanpa berfikir lama, ibu langsung mengajakku untuk ikut pergi ke rumah sakit.
Di perjalanan, tangisan air mata pun bertambah deras membasahi seluruh mukaku,
mata yang bengep tidak aku pedulikan. Ibuku berusaha menenangkan namun apa daya aku
terlanjur sedih mengetahui hal ini.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju ruangan ayahku. Setelah aku menemui
ruangannya lalu aku membuka pintu kamar, aku melihat ayahku terbaring lemah di kasur
dan ada dokter yang sedang memeriksa ayah. Aku pun langsung memeluknya dan berusaha
menahan air mata yang mencoba untuk keluar lagi namun ayah belum sadar dari masa kritisnya.
Tak berapa lama kemudian, dokter berkata pada aku dan ibu bahwa ayah harus segera dioperasi
dan untuk masalah biaya silahkan ke resepsionis. Sang dokter pun langsung keluar dari ruangan
ayahku. Terpajang muka bingung dari wajah ibuku entah ingin mendapatkan biaya operasi darimana.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menambah pekerjaan dengan menjadi pembantu di rumah orang
terkaya di kampungku, Desa Waringin yang bernama Bu Malika, setelah aku datang ke rumahnya aku
langsung membicarakan semua yang terjadi pada keluargaku dan ternyata Bu Malika membolehkan
aku untuk bekerja di rumahnya dan terlebih lagi ia mau membayar biaya operasi ayahku.
Tak lupa untuk mengucapkan rasa syukur pada Allah yang sudah memperlancar semuanya dan ucapan
terima kasih pada Bu Malika yang juga tidak mengharapkan uangnya untuk dikembalikan suatu saat.
Aku langsung bergegas ke rumah sakit dengan mengajak Bu Malika dan sesampainya aku segera menemui
ibuku dan membicarakan bahwa Bu Malika ingin membiayai operasi ayah. Setelah itu, kami menemui
dokter untuk segera melakukan operasi pada ayah dan Bu Malika berkata pada aku dan ibu jika dia ingin
ke resepsionis untuk membayar biayanya dan harus segera pulang karena ada acara keluarga.
Ibuku pun mengucapkan banyak terima kasih pada Bu Malika.
Setelah 2 jam kami menunggu di depan ruangan operasi, dokter pun keluar ruangan operasi,
aku pun menanyakan bagaimana operasinya. Dokter mengatakan bahwa ayah tidak bisa diselamatkan,
Allah mempunyai rencana lain. Mendengar hal itu, hatiku berdetak kencang,seluruh tubuku berkujur
keringat dingin, bibirku pucat memutih dan pikiran entah kemana dan air mata turun
membasahi pipiku dan ibuku. Aku sangat menyesal karena operasi tidak dilakukan dari awal dan aku tidak bisa
berbicara dengan ayah saat detik-detik kepergiannya. Hanya ada di dalam hatiku berbicara
“Aku sayang ayah, mengapa ayah cepat sekali meninggalkan aku dan ibu, bagaimana dengan kehidupanku
setelah ini tanpa ayah yang selalu memberi semangat dikala aku sedang down dengan pelajaran di sekolah”.
Aku hanya bisa berdoa agar ayahku diterima di sisi Allah dan dijaga disana.
Keesokkan harinya, hari pemakaman ayahku dimana terakhir kalinya aku melihat ayahku untuk selama-lamanya. Aku dan Ibu memeluk erat-erat ayah yang sudah tak bernyawa dengan air mata yang deras dan
bergantian mendekati telinga dengan berkata “ selamat tinggal ayah, ayah yang tenang disana, aku akan
belajar lebih giat agar bisa menjadi dokter untuk membantu orang-orang dan supaya dapat merubah
keadaan yang lebih baik dari sekarang yah, aku akan menjaga ibu , aku dan ibu sayang ayah”.
Aku dan ibu berusaha untuk mengikhlaskan semuanya dan segera mengusap air mata yang mengujur
di pipiku dengan bergegas pulang
Akhirnya, hari-hari ku lalui hanya bersama ibu dengan kehidupan tanpa ayah disampingku.
Aku pun melanjutkan sekolah yang pernah aku tinggali untuk berusaha mengejar cita-cita sebagai dokter.
Setelah aku lulus SMA, aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah selama kuliah secara gratis
di Jurusan Kedokteran. Alangkah bersyukurnya aku.
Waktu begitu cepat, aku yang hanya anak dari penjual kerupuk keliling dan penjual gado-gado kini menjadi
seorang dokter. Aku tak menyangka ini semua bisa terjadi padaku. Tiba-tiba di benakku teringat janjiku pada
ayah dan tak lama aku langsung mengajak ibu datang ke makam ayah. Sesampainya disana aku langsung
mengatakan dengan nada yang bergetar “Yah, aku dan ibu ada disini, aku sudah bisa mewujudkan impianku
menjadi dokter,yah. Aku akan membantu orang-orang di luar sana yang kekurangan biaya, ayah baik-baik kan? “.
Tak lupa aku dan ibu membacakan doa untuk ayah dan setelah itu bergegas untuk pulang.
Pada akhirnya, aku berfikir bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk meraih apa yang diingkan,
dan semua masalah akan ada hikmahnya, aku sangat bersyukur karena Allah telah mengabulkan doaku
dan ibu dengan merubah keadaan yang lebih baik dari kemarin dan kini aku dapat hidup serba kecukupan
dengan ibu namun tetap ada kejanggalan dengan tidak adanya ayah disampingku.
(Milasari Nurfitria, 21 Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar