Raka Si Tukang Kayu
Raka mengusap keningnya, melihat karyanya yang sebentar lagi selesai. Karya yang entah sudah keberapa diciptakannya. Sebuah kipas sederhana yang terbuat dari kayu cendawan asli yang didapatnya ketika berkeliling hutan seminggu yang lalu. Lalu ia melirik ke kanan. Melihat tumpukan karyanya di samping meja kerjanya. Sebuah galah panjang dengan pengait pada ujungnya yang diselesaikannya 3 hari yang lalu. Lalu karya yang lainnya, seperti sebuah tongkat berbentuk huruf Y pada ujungnya, sebuah kayu lurus dengan banyak gerigi besi pada ujung bawahnya, sebuah papan persegi panjang dengan datar bawahnya yang agak landai. Sederhana? Memang sangat sederhana, namun Raka membuatnya dengan sepenuh hati, penuh dengan ketelitian.
Raka tinggal di Desa Wood, sebuah desa di negeri fantasi yang jauh di sana. Desa Wood terkenal karena melimpahnya kekayaan alam kayunya. Raka adalah satu dari sekian banyak pengrajin kayu yang tinggal di Desa Wood. Di desa itu hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai pengrajin kayu. Dari desa bagian barat, terdapat pengrajin kayu terkenal bernama Dare. Dare tak hanya pintar dalam memahat dan mengukir kayu. Dare juga pintar dalam menceritakan filosofi hasil pahatan dan ukiran yang dibuatnya. Setiap hasil pahatan memiliki kisahnya sendiri, begitu katanya. Dare juga selalu diundang untuk berpidato mengenai perkembangan hasil kayu di Desa Wood di alun-alun kota.
Dari desa bagian timur, terkenal seorang pengajin kayu bernama Moris. Moris adalah seorang pengrajin kayu yang memberi pahatan kayu sambil mendengarkan dendangan lagu. Setiap lagu dapat memberikan inspirasi dan menghasilkan hasil pahatan kayu dengan keunikan tersendiri, begitu ocehnya. Tak jarang juga, Moris bersenandung sambil berkarya.
Tapi, Tuhan punya rencana lain untuk Raka. Raka tak perlu berfilosofi, apalagi bersenandung. Hanya perlu jari-jari halus dan cermat untuk membuat bentuk dan ukiran kayu sempurna. Sederhana memang, sebab Raka tak ingin karyanya justru menyusahkan dan membingungkan orang lain.
Dari desa bagian timur, terkenal seorang pengajin kayu bernama Moris. Moris adalah seorang pengrajin kayu yang memberi pahatan kayu sambil mendengarkan dendangan lagu. Setiap lagu dapat memberikan inspirasi dan menghasilkan hasil pahatan kayu dengan keunikan tersendiri, begitu ocehnya. Tak jarang juga, Moris bersenandung sambil berkarya.
Tapi, Tuhan punya rencana lain untuk Raka. Raka tak perlu berfilosofi, apalagi bersenandung. Hanya perlu jari-jari halus dan cermat untuk membuat bentuk dan ukiran kayu sempurna. Sederhana memang, sebab Raka tak ingin karyanya justru menyusahkan dan membingungkan orang lain.
Entah sudah berapa kali matahari dan bulan berputar silih berganti melaksanakan tugasnya masing-masing. Selama itu pula Raka belum bisa membuat nama dan potretnya diukirkan di “Papan Pengumuman Desa” yang terbuat dari kayu cendawan berkualitas terbaik. Karyanya tak pernah dilirik dan Raka tak pernah berani mengungkapkannya walau sering berakhir di tempat sampah. Hingga suatu hari Raka memberanikan diri datang ke rumah Tetua Desa. Raka tak lupa membawa karya, sebuah buku catatan kecil, dan sebuah pulpen.
Raka mengetuk pintu.
Tetua Desa keluar dari rumahnya, sambil berkacak pinggang. Tak mengerti, Raka menganggap pose Tetua Desa sangat keren.
Raka mengetuk pintu.
Tetua Desa keluar dari rumahnya, sambil berkacak pinggang. Tak mengerti, Raka menganggap pose Tetua Desa sangat keren.
“Oh Raka. Kupikir kau sudah mati dimakan harimau, singa, atau kelaparan di tengah hutan. Lama kau tak kelihatan. Apa yang kau inginkan?”, kata Tetua Desa sambil tersenyum sinis.
Raka tak memikirkan kata-kata menyakitkan Tetua Desa, namun yang dilihatnya, Tetua Desa itu tersenyum walau hanya bibir kanannya saja yang terangkat. Ahh, ramah betul Tetua Desa ini, pikir Raka dalam hatinya.
Raka mengambil bukunya dan mulai menulis.
Raka mengambil bukunya dan mulai menulis.
Aku membawa karyaku. Maukah kau melihatnya dan mencobanya untukku?
Tetua Desa mengambil kertas itu dan mengangguk pelan. Kali ini tanpa senyuman. Raka memberikan karya pertamanya. Sebuah kayu panjang meliuk-liuk berbentuk huruf Y dengan ukuran batik di seluruh tubuh kayu itu dan tulisan “Desa Wood” pada bagian ujung bawahnya.
“Kau membawakanku sampah?”, tanya Tetua Desa
Raka berpikir, mungkin Tetua Desa berkata, “Apakah kau ingin aku mengukir namamu di Papan Pengumuman?”
Tetua Desa melambaikan tangannya di depan wajah Raka untuk menyadarkan Raka dari lamunannya. Raka mengangguk.
Braaaaakkkk… Pintu dibanting kuat di depan wajah Raka. Raka terkejut. Mungkin Tetua Desa sedang tidak enak badan. Raka pulang dengan wajah berseri-seri membayangkan potretnya di Papan Pengumuman besok.
“Kau membawakanku sampah?”, tanya Tetua Desa
Raka berpikir, mungkin Tetua Desa berkata, “Apakah kau ingin aku mengukir namamu di Papan Pengumuman?”
Tetua Desa melambaikan tangannya di depan wajah Raka untuk menyadarkan Raka dari lamunannya. Raka mengangguk.
Braaaaakkkk… Pintu dibanting kuat di depan wajah Raka. Raka terkejut. Mungkin Tetua Desa sedang tidak enak badan. Raka pulang dengan wajah berseri-seri membayangkan potretnya di Papan Pengumuman besok.
Ternyata, tak hanya Raka dan Tetua Desa yang ada disitu. Mata Dare dari tadi mengintip di kejauhan sambil bersembunyi di belakang pohon oak yang rindang.
“Cihhh, cari muka betul anak itu. Pakai acara mengunjungi Tetua Desa segala. Dasar orang aneh. Ngomong saja tidak nyambung. Mau menandingi aku segala. Lihat saja. Selama Dare masih ada disini, takkan ada yang bisa menjadi pengrajin kayu terbaik di desa ini.”, kata Dare berapi-api.
Dare segera berlari menuruni bukit, menyeberangi sungai, hamparan sawah, hutan kayu yang begitu luas, untuk mencapai desa bagian timur, menemui Moris. Sesampainya disana, Moris sedang mengetam dan mengamplas kayunya dengan kertas pasir.
Dare segera menceritakan semuanya, sebentar Moris tersenyum, lalu kemudian mengangguk pelan. Cukup lama mereka berdiskusi, hingga matahari pulang ke tempat peraduannya…
“Cihhh, cari muka betul anak itu. Pakai acara mengunjungi Tetua Desa segala. Dasar orang aneh. Ngomong saja tidak nyambung. Mau menandingi aku segala. Lihat saja. Selama Dare masih ada disini, takkan ada yang bisa menjadi pengrajin kayu terbaik di desa ini.”, kata Dare berapi-api.
Dare segera berlari menuruni bukit, menyeberangi sungai, hamparan sawah, hutan kayu yang begitu luas, untuk mencapai desa bagian timur, menemui Moris. Sesampainya disana, Moris sedang mengetam dan mengamplas kayunya dengan kertas pasir.
Dare segera menceritakan semuanya, sebentar Moris tersenyum, lalu kemudian mengangguk pelan. Cukup lama mereka berdiskusi, hingga matahari pulang ke tempat peraduannya…
Keesokan hari datang begitu sempurna dan indah. Matahari dan kicauan burung membingkai menyambut datangnya hari yang baru dengan segala sesuatu yang baru yang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.
Raka menyambut datangnya pagi dengan ceria dan seribu semangat yang baru. Raka segera mandi, sarapan dengan roti dan selai madu, lalu berpakaian dan memakai kacamata keberuntungannya. Ia siap melihat namanya di Papan Pengumuman.
Mungkin aku akan diukir dengan memakai dasi kupu-kupu yang kemarin kupakai, pikirnya. Lalu Raka pergi, tak lupa membawa catatan dan pulpennya.
Raka menyambut datangnya pagi dengan ceria dan seribu semangat yang baru. Raka segera mandi, sarapan dengan roti dan selai madu, lalu berpakaian dan memakai kacamata keberuntungannya. Ia siap melihat namanya di Papan Pengumuman.
Mungkin aku akan diukir dengan memakai dasi kupu-kupu yang kemarin kupakai, pikirnya. Lalu Raka pergi, tak lupa membawa catatan dan pulpennya.
Ketika Raka datang, semua orang memandangnya dengan tatapan kecewa, saling bisik satu sama lain. “Tega sekali dia melakukannya.”, bisik salah satu warga
“Aku tak menyangka Raka sejahat itu.”, bisik warga yang lain.
Apa yang terjadi? Mereka menyambutku terlalu semangat. Apakah wajahku dipotret dengan sangat lucu? Ayolah. Aku yakin tidak begitu aneh, pikir Raka.
“Aku tak menyangka Raka sejahat itu.”, bisik warga yang lain.
Apa yang terjadi? Mereka menyambutku terlalu semangat. Apakah wajahku dipotret dengan sangat lucu? Ayolah. Aku yakin tidak begitu aneh, pikir Raka.
Tetua Desa berjalan ke arahnya dengan wajah amat marah. Sementara Moris dan Dare mengikuti dari belakang sambil tersenyum licik.
“Kau pencuri, pengkhianat, perusak.”, kata Tetua Desa sambil menunjuk ke arah Raka.
Raka terkejut, lalu mengangkat bahunya dan membalas dengan tatapan heran. Istri Tetua Desa mengerti lalu mengambil buku catatan dan pulpen milik Raka, dan mulai menulis. Apakah kau mengambil kayu dari hutan baru-baru ini? Raka mengangguk sambil tersenyum. Istri Tetua Desa menulis lagi. Boleh kami datang dan melihat rumahmu? Raka mengangguk lagi lalu tangannya mengisyaratkan untuk mengajak mereka. Semua orang berbondong-bondong mengikuti dari belakang. Tetua Desa berjalan dengan tatapan marah. Moris dan Dare mengikuti dari belakang sambil tersenyum berharap ini semua terjadi sesuai dengan rencana mereka sedangkan warga mengikuti dengan penasaran.
“Kau pencuri, pengkhianat, perusak.”, kata Tetua Desa sambil menunjuk ke arah Raka.
Raka terkejut, lalu mengangkat bahunya dan membalas dengan tatapan heran. Istri Tetua Desa mengerti lalu mengambil buku catatan dan pulpen milik Raka, dan mulai menulis. Apakah kau mengambil kayu dari hutan baru-baru ini? Raka mengangguk sambil tersenyum. Istri Tetua Desa menulis lagi. Boleh kami datang dan melihat rumahmu? Raka mengangguk lagi lalu tangannya mengisyaratkan untuk mengajak mereka. Semua orang berbondong-bondong mengikuti dari belakang. Tetua Desa berjalan dengan tatapan marah. Moris dan Dare mengikuti dari belakang sambil tersenyum berharap ini semua terjadi sesuai dengan rencana mereka sedangkan warga mengikuti dengan penasaran.
Sesampainya di rumah Raka, tepat di kamar kerjanya, semua melonjak terkejut. Kamar kerja Raka sungguh berantakan. Berserakan banyak sekali pohon-pohon mahoni, cendawan, jati, berkualitas baik bahkan terlihat tertebang dan dibuang begitu saja. Dugaan warga mengenai pelaku pencurian kayu-kayu di hutan yang terjadi tepat semalam semakin ditujukan pada Raka. Raka segera mengambil bukunya dan menulis untuk menjelaskan semuanya. Tadi tak sebanyak ini. Kemarin aku hanya mengambil 75 cm kayu mahoni dan 38 cm untuk membuat hadiah pada Tetua Desa sebagai ucapan terimakasihku karena telah menaruh potretku. Raka memberikan sebuah kotak kepada Tetua Desa, dibungkus rapi dengan kertas kado yang dibuatnya sendiri, dihiaskan pita biru dari sulur-sulur tanaman anggrek.
“Pembohong… Pembuat cerita… Banyak alasan… Sekarang juga kuperintahkan kau pergi dari desa ini. Biar saja kau mati di luar sana. Daripada kami harus hidup dan tinggal bersama orang sepertimu.” Tetua Desa berada di puncak emosinya.
Raka sangat ketakutan. Walau tak tahu apa yang dikatakan Tetua Desa, Raka tahu semua raut kebencian dan rasa yang tak menginginkan kehadirannya lagi. Raka pun pergi, membawa semua rasa yang paling sakit dirasakannya sepanjang hidupnya. Warga pun bubar berhamburan keluar.
Hari-hari selanjutnya sangat kelabu di Desa Wood. Tak ada lagi Raka yang menjadi bahan caci dan maki. Tak ada lagi gosip karena Raka tak ingin ke luar rumah. Lalu dilakukan pembongkaran di rumah Raka. Kini semua mengerti. Alat-alat yang diciptakan Raka memang sangat sederhana tapi sangat bermanfaat. Kayu yang dibuatnya bisa menjadi galah untuk memanen jambu, sebagai tongkat untuk mengganjal sarang burung yang hampir terjatuh, sebagai alat untuk menggemburkan tanah, dan sebagainya. Moris dan Dare ikut menyesal dahulu pernah menjadi dalang dalam skenario untuk memfitnah Raka. Tetua Desa juga mengambil hadiah di dalam kotak yang dahulu pernah dicampakkannya tepat di depan wajah Raka. Hadiah berupa kacamata yang gagangnya dibuat dari kayu dengan lensa di tengahnya dan ukiran kata Desa Wood membingkainya, dilengkapi dengan sebuah surat pendek.
Kau tahu pak? Aku yakin kau perlu ini untuk membaca surat kabar yang datang tiap harinya. Terimakasih pak. Kau mau menaruh potretku di Papan Pengumuman. Besok aku akan melihatnya dengan penampilan terbaikku.
Semua menyesal akan apa yang pernah terjadi. Semua menyesal tak ada yang menghalangi Raka pergi. Semua tinggal rasa sesal. Suatu hari, angin sepoi-sepoi meniup lembut sepucuk kertas yang berisikan puisi indah yang ditulis oleh pengrajin kayu yang dahulu pernah ada di Desa Wood. Seorang warga mengambilnya lalu membacanya keras-keras.
Aku hadir tak sesempurna dan seberuntung kalian
Bisu dan tuli, akulah Raka si pengrajin kayu
Hingga aku tahu ini semua anugerah Tuhan
Tuhan tak ingin aku mendengar suara hati yang malu
Sebab Tuhan sayang padaku…
Bisu dan tuli, akulah Raka si pengrajin kayu
Hingga aku tahu ini semua anugerah Tuhan
Tuhan tak ingin aku mendengar suara hati yang malu
Sebab Tuhan sayang padaku…
Puisinya berhenti sampai disitu, semua membisu dan berkata dalam diam dan kalbu. 4 kata yang intinya cuma satu.
Kami ingin kau kembali
Kami ingin kau kembali
Sumber:Fanny Yolan Tamba,15 Oktober 2016
Analisis
Identitas Karya
Judul : Raka Si Tukang Kayu
Pengarang : Fanny Yolan Tamba yang bersekolah di SMPN 3 Medan yang berniat
Membuat cerpen. Banyak karangan yang dibuat oleh Fanny Yolan
Tamba seperti Raka Si Tukang Kayu, Gak Bakat, Jangan Meremehkan
Orang, Apa Adanya, dan Persahabatan
Tanggal terbit : 15 Oktober 2016, yang dikategorikan sebagai cerpen fantasi
(fiksi).
UNSUR INTRINSIK
SINOPSIS
Cerpen ini menceritakan kisah seseorang dimana seseorang tersebut bernama Raka. Raka yang tinggal di Desa Wood bekerja sebagai pengrajin kayu, namun selama Raka menjadi pengrajin kayu selama itu pula Raka belum pernah membuat nama dan karyanya terpampang di Papan Pengumuman Desa Wood. Raka pun berharap agar Tetua Desa Wood mau dan menghargai hasil karya dengan mau mengukir namanya di Papan Pengumuman. Namun, ada saja seseorang yang tak suka dengan Raka Karena merasa tersaingi sebagai pengrajin kayu yang bernama Moris dan Dare, hingga mereka mempengaruhi Tetua Desa dengan menuduh bahwa Raka telah mengambil kayu dari hutan Desa Wood untuk dijadikan sebagai sebuah karya. Alhasil, Raka yang tak merasa berbuat akan tuduhannya itu, justru ia diusir dari desa tersebut. Namun setelah waktu berlalu tanpa hadirnya Raka, Moris dan Dare menyesal akan semua kesalahannya begitu juga dengan Tetua Desa yang telah mengusirnya.
Tema : Sebuah keinginan yang kandas
Amanat : Jangan mudah percaya dengan pembicaraan orang lain
Carilah suatu bukti yang jelas dan tepat
Latar
- Tempat : Rumah tetua desa ( Desa Wood ), Desa Wood bagian timur, Rumah Raka
- Suasana : Mengharukan
- Waktu : Pagi hari ketika Raka pergi untuk berharap namanya terpampang di
Papan Pengumuman
Sudut Pandang : Orang ketiga serba tahu
Tokoh/Penokohan
- Dare : Licik, suka memfitnah, tidak mau tersaingi, sombong
- Moris : Jahat, licik, suka memfitnah
- Tetua Desa : Mudah percaya atas omongan orang lain, mudah menghakimi seseorang, meremehkan orang lain
- Istri Tetua Desa : Tidak mudah untuk menghakimi seseorang
- Warga : Mudah percaya dengan omongan seseorang
Alur : Campuran (Mundur: Sebuah galah panjang dengan pengait pada ujungnya yang
diselesaikannya 3 hari yang lalu).
Pengenalan : Raka adalah satu dari sekian banyak pengrajin kayu yang tinggal di Desa Wood
Konflik : Hingga suatu hari Raka memberanikan diri datang ke rumah Tetua Desa.
Klimaks : “Kau pencuri, pengkhianat, perusak.”, kata Tetua Desa sambil menunjuk ke arah Raka.
Peleraian : Raka pun pergi, membawa semua rasa yang paling sakit dirasakannya sepanjang hidupnya.
Penyelesaian : Semua menyesal akan apa yang pernah terjadi. Semua menyesal tak ada yang menghalangi Raka pergi
Gaya Bahasa
Menggunakan Kalimat Tunggal
Raka mengetuk pintu Aku membawa karyaku Ia siap melihat namanya di Papan
S P O S P O S P O Ket. Tempat
Raka sangat ketakutan.
S P
Menggunakan Kalimat Majemuk
Desa Wood terkenal karena melimpahnya kekayaan alam kayunya.
Raka terkejut, lalu mengangkat bahunya dan membalas dengan tatapan heran.
Menggunakan Kata Baku
Semua penggunaan kalimat berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia.
UNSUR EKSTRINSIK
Nilai Moral : Berfikirlah sebelum bertindak, jangan mudah
memfitnah seseorang.
Nilai Sosial : Hidup ini memang persaingan, bersainglah secara
sportif untuk menciptakan sesuata yang baik.
Nilai Etika : Belajar untuk menghargai hasil karya seseorang.
Pesan : Cerpen ini sudah cukup bagus, sudah mencakup semua
unsur-unsur cerpen, hanya saja dalam penokohan
pada salah satu tokoh yaitu Istri Tetua Desa yang kurang
jelas dalam cerpen ini. Gaya Bahasa dalam cerpen ini
memiliki kalimat yang polanya mencakup SPOmaupun
SP, SPOK.
Penutup : Cerpen ini perlu dijelaskan lebih rinci setelah kepergian
tokoh Raka dari desa tersebut, sebelum kejadian dimana
penyesalan dari tokoh Moris dan Dare.
MILASARI NURFITRIA
12 IPA 1
ABSEN 23